Monologue

Gaes, gue udah jadi istri orang.

Sejauh ini, menyenangkan sekali.

Semoga semua yang berencana untuk berdua, dipertemukan dengan jodohnya, dimudahkan prosesnya, dan dilimpahi keberkahan selalu.

Ini sedikit cuplikan nikahan kami januari kemarin.

Cheers!

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Astagadragon, sudah setengah tahun lebih nggak posting. Maklum, riweuh. 

Catat. Riweuh, bukan sibuk. 

Mohon dibedakan, tks. 

***

Judul postingan ini gue ambil dari lagu di final episode dari series yang akan gue bahas hari ini: Bob Hearts Abishola.

Menceritakan tentang Bob Wheeler, pengusaha koskaki yang kena serangan jantung karena beqerjha qeras baghai qudha, dirawat di rumah sakit, lalu naksir suster Nigeria yang merawatnya, Abishola. Abishola adalah janda anak 1 yang hidup dalam komunitas Nigeria yang kental dan menjunjung tinggi tradisi. Awalnya dia menolak Bob, walau ya pada akhirnya mereka saling jatuh cinta dan menikah. 

Series ini sangat menarik menurut gue, karena diliatin banget tuh yang selama ini selalu digembar-gemborkan warga kalo "Menikah itu menyatukan dua keluarga". Banyak banget culture shock dan perjuangan karakter-karakternya untuk beradaptasi, memperjuangkan keyakinannya, dengan sebisa mungkin menghormati tradisi dan adat. Tentu saja, dengan cara yang, yaampun lawak banget nggak ngerti lagi. 

Series ini rasanya nyata dan dekat banget, mungkin karena gue ngerasa ni warga di komunitas Nigeria ya kelakuannya mirip sama warga Wakanda sini lah. Mulai dari keluarga yang ngatur-ngatur hidup kita, harus menghormati orang tua mau bener mau salah, tetangga julid, sampe stereotip pilihan karir, kayak kalo jadi dokter sukses, kalo jadi artis itu nggak jelas. Diselipin juga beberapa isu sensitif semacam perceraian, LGBT, serta mental health. 

Menurut gue series ini komplit banget, dan nggak bosenin untuk nonton 5 Season melihat character development dari semua tokohnya.

Selamat menonton!

 Waktu sakit kemarin-kemarin itu, gue yang gabut kalo cuma bengong menatap langit-langit akhirnya mencoba untuk menonton beberapa series Netflix yang baru pada bermunculan. Docuseries Escaping Twin Flames adalah salah satunya. 

Gue yakin kita semua (termasuk gue) pernah merasakan yang namanya jatuh hati kepati-pati sama seseorang. Sampai pada satu titik, kita yakin kalo "ini dia nih orangnya: atau dalam bahasa kerenannya "he's / she's the one". Tapi, apa yang terjadi kalau ternyata, respon si doi tidak sejalan dengan bayangan kita? Sepengalaman gue, akan ada dua bagian dari diri kita yang saling berlawanan: (1) di satu sisi kita nyerah, ah udahlah bukan jodoh lalu sedih meratapi nasib sambil nangis guling-guling di pasir parangtritis, atau (2) keukeuh kalau akan tiba saatnya kita bersama walau harus melewati panas terik hujan badai karena kita ditakdirkan bersama. 

Twin Flames Universe (TFU), sebuah komunitas (?) atau organisasi (?) atau sekte (?) mengklaim dirinya menyediakan konsultasi dan pembacaan twin flame (sejenis soulmate) buat warga-warga yang sedang gelisah galau merana karena cinta. Awalnya, TFU ini diceritakan memberikan layanan konsultasi, coaching, dan layanan lainnya (yang berbayar ya tsay) dalam mencapai hubungan yang didambakan bersama si doi. Lama-lama TFU ini berkembang, dari yang awalnya di-coach langsung oleh Jeff dan istrinya, Shaleia (bukan nama asli, namanya diganti biar lebih ke gipsi gipsi an, biar matching kayaknya sama konsep TFU yang berkiblat ke New Age Spiritualism), jadi ada coach-coach lain yang membantu memberikan pelatihan. 

Awalnya semua oke-oke aja sih. Tapi cerita bergulir sampai makin lama si TFU ini makin berasa kayak MLM dengan skema piramida, dimana si coach-coach dibawahnya Jeff & Shaleia disuruh qerjha qeras baghai kuda lumpink, diminta untuk volunteer ngurus TFU mulai dari website, bikin marketing, jadi HR, TAPI mereka dibayar sangat rendah, WALAUPUN banyak yang join ke TFU dan ikut kelas-kelas berbayar. Mereka-mereka yang kerja di TFU ini macem kerja ikhlas buat mbayari gaya hidup kedua founder-nya. Spoiler dikit, ada satu cerita kalo Jeff dan Shaleia bahkan mengubah format TFU dari yang awalnya organisasi profit jadi gereja untuk menghindari pajak. 

*nonton sambil menahan emosi*

Sepanjang nonton jujur gue gregetan pengen marah dan ngata-ngatain yang join TFU, karena, semua hal yang dilakukan kayak nggak rasional. Ada yang sampe dikucilkan keluarga, ada yang kehilangan pekerjaan, ada yang masuk penjara, ada yang akhirnya harus hidup dengan kriminal cuma gegara si Jeff sama Shaleia bilang "Noh itu noh twin flame elu". Gilanya lagi, sampe ada yang oplas ganti gender karena dibilang "Kamu ini energinya nggak match sama gender kamu, jadi kamu nggak akan bisa dapet twin flame."

*nonton sambil emosi, udah nggak ditahan-tahan lagi*

Sampai saat ini, masih ada banyak orang yang akhirnya meninggalkan keluarganya dan lebih milih hidup dalam TFU. Entahlah apa yang mereka pikirkan, tapi gue bisa bilang, memang saat kita sedang bingung, patah hati, dirundung kesedihan, cuci otak oleh orang-orang seperti Jeff dan Shaleia ini sangat mungkin untuk dilakukan.

Jadi tetap waspada ya ges ya. 

 Jiakh tiba-tiba udah akhir Desember. Saatnya apaaa? Yak betul, recap yang ada ada aja tiap tahun.

Ada beberapa highlight dari tahun ini yang cukup yahud untuk diceritakan, baik yang manis maupun yang asin pahit.

1. Dari Wakanda ke Walanda

Sebuah pengalaman yang tentu saja uwow wadidaw karena seumur hidup belum pernah ke Yurop. Banyak ketemu orang dari macem-macem tempat, dapet ilmu baru, dan tentu saja dapet gosipan baru. Dari yang biasa nongkrong di alun-alun Lembang, pindah jajan di alun-alun Delft. Yang biasa makan d'besto, ganti jadi makan kapsalon. Biasa nongkrong di baso Denok, jadi makan tom yum si Jay yang letaknya persis deket alun-alun. Yang biasa komuter Bandung-Lembang jadi komuter Delft-Den Haag cuma buat jalan-jalan ke mall. Yang biasa ngangkot ke kampus, jadi ngebis pulang kampus, campur jalan kaki. Seru dah!

2. Mas Dosen

Alhamdulillah y ges y Mas Yogi sudah resmi menjadi dosen gemoy di sebuah perguruan tinggi swasta bercat biru yang ada jurusan halodek nya. Dah cari sendiri nggak usah males. Setelah drama panjaaaaaangggg banget yang cukup menguras emosi, air mata, dan bak mandi, alhamdulillah bulan oktober kemarin belio resmi menjadi dosen tetap, dan NIDN nya sudah keluar november kemaren. Akhirnya pertama kali dalam hidup gue melihat secara langsung web SISTER yang selama ini selalu jadi perbincangan hangat di kalangan kolega di kampus. Pas dibuka, owalah sister ni buat ngisi kegiatan buat angka kredit. Kirain dia saudaranya brother. Iya. Iyain aja. Kami masih harap-harap cemas karena mungkin Mas Yogi bakal ditempatkan sementara di Pangandaran untuk mengisi posisi di PSDKU (Program Studi di Luar Kampus Utama). Tapi yawdah, apapun itu, bismillah in aja dulu.

3. Cewek Sporty

Ga ada angin nggak ada hujan, gue, Bu Ana, dan Jeng Bete menjadi cewek sporty bersama. Mulai dari gue menggeret Jeng Bete ke gym bersama, dan Bu Ana menggeret gue ke kelas semi private pilates sabtu pagi jam 7. Si Jeng Bete juga jadi anak tenis tiap sabtu sore. Gile ngga sih, pertemanan yang biasanya diisi makan-makan-makan-makan sekarang jadi olahraga-olahraga-olahraga (walau abis itu ya makan juga).

4. Kehidupan 30++

Walaupun sudah rajin olahraga, ya tetep aja karena pada dasarnya kami sudah remaja jompo, ada aja lah sakit-sakit ini. Dan di Desember ini, gue sama Ana sakit berbarengan. Ana tipes + gejala DB + ISK, sampe harus dirawat di borom. Gue tiba-tiba lemes, sedikit batuk, ada demam sedikit (kira-kira 38.5 derajat maksimal lah). Cek DB, tipes, negatif. Pak cek fungsi hati dan ginjal, jreng, jelek. OTW borom juga akhirnya, ke internist. Diminta cek ini itu, mulai dari cek darah, cek urin, thorax, usg, sampe PCR. Thorax & USG alhamdulillah oke. cek darah ya ada yang oke ada yang kureng, yang jelas, pokoknya hepatitis yang ditakutin alhamdulillah tidak terdeteksi. Urin oke kayaknya. Pas PCR: POSITIP. USUM KENEH KOPID HEY KAMANA ATUH KOPID?! Ya begitulah jadi gue ini ngetik sambil isoman. Alhamdulillah gejalanya ringan banget sampe gue kira batuk alergi biasa. Dari kemenkes juga cuma dikasih vitamin aja. Oh, terus gue defisiensi Vit D juga. Kirain selama ini gue melow karena anak emo, ternyata karena kurang berjemur doang. Baik. Dan sabtu besok gue sama Ana bakalan ke rumah sakit berdua buat cek ke dokter yang sama wkwkwk. Sunggu absurd banget. Kami kemarin ngebahas kalo, dulu, pas kami masih muda, belasan taun, lagi bandel-bandelnya, mana ada kepikiran bakalan wisata ke rs barengan kayak begini. Trus yang paling sedih adalah kemarin pas mau ke dokter, gue males ngurus BPJS nya jadi pake jalur mandiri. Sok iyey jumawa duit proyekan baru pada cair. Udah disisihin tuh mau dimasukin ke tabungan nikahan. Lah, kepake buat ke dokter dan cek-cek penunjangnya, Pedih banget bund melihat tabungan kawinanku berkurang wkwk. Tapi nyasud lah ya semoga ada rejeki terus aamiinn

Begitulah sekelumit kehidupan tahun 2023. Aneh sih. Tapi yaudah. Pokoknya 2024 harus sukses nggak mau tau. Semogaaaaaaaaa selalu sehat, lancar, dan berkecukupan. Aaamiinn. 

Iya, ini baru mau gue kenalin warga RW 07 The Social Hub yang rutin ronda malam untuk mengusir sepi di Delft. Seperti yang sudah gue jelaskan di postingan sebelumnya, kami ada 9 orang dari ITB, dan 2 dari TU DELFT (sebetulnya 3 sih, tapi yang rutin join cuma 2). 

 

Loh kok gitu?

Ya suka-suka gue lah, orang gue yang cerita.

***

Menurut gue, hampir semua hari di Belanda sangat epic. Ada-ada aja gitu kelakuan warga yang bikin pengen nepok jidat-nya Ahmad Dhani. Random bener. Tapi menurut gue, yang paling bikin ngebatin "Ya Allah cobaan apa lagi ini" adalah ketika hari terakhir kami mau pulang ke Indonesia. 

Sebagai prolog, gue akan mengenalkan dulu beberapa warga RW 07 "Anjay" Cabang Delft alias Junior Researcher yang mengikuti program training/summer school (yang sudah pasti ngga berasa summer-nya, punteun, summer apaan 7 derajat). Detail dari mereka bersembilan mungkin akan gue jelaskan secara terpisah di postingan tersendiri untuk menghormati karakter sableng setiap orang - sekaligus menjelaskan asal muasal nama anjay ini muncul.

Ada 9 orang peserta: gue, Ambu, Masgan, Mbaap, Azman, Hilal, Sadid, Masno, Mbarias. Kami bersembilan tergabung dalam penelitian energi, joint research antara ITB dan TU Delft. Kami terdiri dari beragam latar belakang, namun disatukan oleh satu sifat:

Sableng.

Iya, kami bersembilan sableng. Kayaknya yang tingkat kesablengannya masih memenuhi baku mutu cuma Ambu doang. Sisanya mah nggak usah ditanya ya, kesablengannya udah mendarah daging tulang sumsum tujuh turunan, seperti apotek kehabisan stok, alias: nggak ada obat. 

Selain kami bersembilan, ada 3 pemuda-pemudi harapan bangsa yang merupakan mahasiswa TU Delft yang menjadi panitia dalam summer school ini. Mereka adalah Teteh Martje, Mas Aji, dan Bang Jannis. Bersama mereka melawan dunia mengatur acara, mengayomi, mengajak jalan, dan menjaga agar kami sehat walafiat selama acara di Belanda. Baik banget deh mereka bertiga, terutama Martje dan Aji yang selalu mendampingi kami kemana-mana. Di awal-awal, mereka bertiga nampak manis manja pemalu dan menggemaskan. Udah hari keempat mah ya ternyata sebelas dua belas kelakuannya kayak warga.

***

Lompat ke hari terakhir kami di Belanda. Setelah beberes, sarapan, dan check out, kami berdelapan (minus Masino yang extend sehari) + Mas Aji nyebrang ke stasiun yang terletak di sebrang kosan kami. Rencananya kami mau naik kereta jam 10.54 karena penerbangan kami dari Amsterdam ke Dubai jam 15.20 sore. Pas lah kalo pergi 10.54 dari Delft, 11.40 sampe Schipol, ngurus tax belanjaan, drop bagasi, ke imigrasi, naik pesawat. Mantap lah. Mungkin malah masih ada waktu buat foto-foto di I Am Sterdam dulu sebelum ngurus-ngurus itu semua. 

Sampai Stasiun Delft kami baru ngecek kalo ada sedikit delay kereta akibat maintenance. Oke lah, nunggu dikit sampe jam 11.10. Naik kereta, ganti kereta di Leiden, sampe Schipol jam 12.00. Sampe sana kita popotoan sama Mas Aji, terus doi dadah-dadah, malah jadi berasa kita yang nganter dia mau pergi dah aneh bener. 

Di Schipol itu, gue janjian sama Mala balikin baju-baju dia yang gue pinjem selama di Belanda (yang dituker dengan jastipan dari Indo, tentu saja). Sembari gue nunggu Mala, temen-temen yang sempet belanja-belanja di Belanda ngurusin tax nya dulu di counter gitu. Abis ketemuan sama Mala, pisah-pisahan, sedih-sedihan, kami ke counter drop bagasi yang.... Allahuakbar antre gile kayak antrean sembako di masa paceklik. Akhirnya Ambu sama Sadiid dan Mbarias antre check in, Hilal sama Mbaap yang udah beres ngurus tax langsung join. Gue sempet ngecek Masgan yang masih ngurus tax sama geng counter drop bagasi yang khawatir butuh bantuan. Hilal sama Mbaap kemudian dengan sangat baik hatinya beliin kami makanan sembari nunggu drop bagasi. 

Sebetulnya, pas di hotel kami udah sempet ngukur-ngukur bagasi kami, dan kemungkinan memang ada beberapa teman yang bagasinya lebih dari jatah, yaitu diatas 30 kg. Tapi karena kami check in rombongan, totalan bagasi yang kami punya tuh masih aman sebetulnya. Udah nih kami drop bagasi. Nah, pas giliran Mbaap, 1 koper dia ada yang 34 kg. Teteh counter nya bilang,

"Kak, ini nggak bisa nih, satu tas maksimal 32 kilo, walaupun kalo secara totalan masih aman", begitu ujar si Teteh Emirates, yang tentu saja berbicara pada kami pake Bahasa Inggris ya, bukan Bahasa Indonesia. Apalagi Bahasa Tagalog. 

"Waduh." Kara Mbaap. "Oke saya bongkar dulu. Nanti habis dibongkar saya harus antre lagi?" Mbaap syok melihat antrean yang mengular. 

"Oh nggak usah Kak, nanti Kakak langsung drop bagasi ke saya aja." Jelas Teteh Emirates. Akhirnya kami beramai-ramai membongkar koper Mbaap, mengeluarkan benda-benda yang sekiranya menambah beban hidup koper Mbaap. Untungnya Mbaap punya 1 koper kabin yang tadinya diniatkan untuk dibawa ke kabin karena berisi laptop. Dengan sigap Mbaap mengatur ulang kopernya, memisahkan beberapa barang supaya masuk ke koper kabin, menukar laptop ke dalam ransel, dan voila, jadilah sekarang koper besarnya 29 kilo, plus koper kabin yang paling 5 kilo an doang. Aman, meski akhirnya ada beberapa barang Mbaap yang harus masuk ke tas tentang gue dan Ambu.

Sampailah kami ke bagian scanner untuk scan barang dan badan. Semua aman terkendali mulus dan tanpa masalah, sampai tiba saatnya barang-barang Masgan discan.

Lho, barangnya nggak lulus sensor. Eh apa sih maksudnya, ya gitu, harus dibongkar dan dicek. Karena udah agak jauh dari gue posisinya, gue nggak tahu betul apa yang terjadi, namun menurut kesaksian Mbaap, laptopnya Masgan sempet dibuka-buka, dan dibersihin. Entah kenapa. Soalnya ngebersihinnya rada lebay gitu, sampe yang bersihin pake sarung tangan. 

Mungkin kalo bisa ngomong, laptopnya bakalan menjerit dan bilang "OKE KELEAN SEMUA SUCI AKU PENUH DOSA"

Oke.

Lanjut, kami akhirnya berhasil masuk ke antrean imigrasi, yang mana SUMPAH ANTRE BANGET. APA SIH YANG NGGAK ANTRE DI SCHIPOL RAYA INI?!?!?!?!?!?!

Usut punya usut, dari delapan counter imigrasi, yang ada petugasnya cuma dua. Kita udah protes sama Abang-Abang ground staff di sono, bilang kita sebentar lagi bakalan terbang, lah dia mah cuma bilang aduh saya nggak bisa apa-apa nih, gimana dong. Kan kesel juga gue. Udah gitu Abang-Abang imigrasinya santuy banget gregetan gue rasanya pengen gue bilangin, "Kalo kaga bisa satset gue gantiin aja dah Bang, slow motion banget kayak adegan tendangan maut Tsubasa!"

Ndilalah semua orang yang lagi antre di situ mostly mau naik Emirates ke Dubai juga. Jadi lah semuanya ngomel, motong antrian, wah udah nggak santai banget, Sampe jam 3 pas, akhirnya ground staff nya nambah 1 line lagi. Si Masgan sama Sadiid yang rada jauh di belakang kita suruh maju, tapi ya dia nggak bisa semena-mena maju gitu karena harus nungguin antrean depannya maju. Eh ada bule kampret motong antrean dia, ya dia marah dong. Akhirnya cekcok lah dia sama tu bule, ditenangin sama staff nya, si Mba Bule diomelin, ricuh lah. Saat itu gue sempet mikir nih kalo si Masgan sampe ketahan di bandara seru juga nih. Untungnya nggak sih, dia bisa maju ke counter imigtasi bareng kita karena kita bilang kami serombongan.

Sampe counter imigrasi si Abang Petugas nya ngecekin muka kita satu-satu. 

"Oooh kelen rombongan tah?" Tanya beliau, tetep, pake Bahasa Inggris, ya, bukan Bahasa Korea. 

"Iye." Bales kita, udah nggak santai. Ya gimana mau santai, pesawat 15.20, itu udah jam 15 lewat :") Bang, pesawat kita udah mau mabur Bang, kenapa siiihhh.

Eh tetiba ada yang nyeletuk dari belakang,

"Menurut kalian, Abang Imigrasi-nya ganteng ngga?" Si Masgan sempet-sempet nya nanya gitu. Pengen gue slepet tulang keringnya pake lap kompor. 

"ILANG GANTENGNYA KALO KELAKUANNYA GINI." Bales Mbaap, emosi. 

"Kelen ngapain di mari?" si Abang sambil ngecapin paspor sambil SKSD. 

"Treniiing."

"Di?"

"DELFTTT."

"Ooohh. Susah ta treningnya?"

"Nggak."

Abangnya berenti ngecap.

"Seriusan kelen bilang trening di Delft gampang? Wadaw." Ya nggak gitu juga ya ges ya Abangnya ngomong, tapi kurang lebih gitu lah. Paham ya. Paham lah ya. 

Trus dia buka satu paspor, ngelirik gue. Gue tanya, "Kenapa Bang, paspor saya?"

Si Abangnya rada kaget dikit, terus manggil nama Hilal. 

"Oh, kamu toh, mukanya rada beda." Kata Abangnya. Heran juga kenapa dia ngelirik gue pas buka paspor Hilal emang kita mirip? "Muka orang bisa beda, tapi kalo ganti jenis kelamin kayanya ngga ya. Kaget tadi kirain kamu Hilal, ganti gender."

Si Bangke dia masih sempet becanda padahal kita udah mau ketinggalan pesawat.

Setelah beres urusan imigrasi yang menguras emosi itu, Azman dengan cekatan ngambil semua paspor, terus kita LARI dari imigrasi ke gate, yang kalo jalan, waktu tempuhnya 9 menit. Kalo lari? Kayaknya ga sampe 5 menit dah itu. Gila, lutut gue rasanya udah geser aja dah. Ada satu titik gue sampe berhenti lari trus gue bilang, bodo amat ah ketinggalan pesawat yaudah. Kesel betul wkwkwk. Walaupun ya pas inget-inget harga tiket yang wadidaw, motivasi gue berlari lebih kencang dan melompat lebih tinggi seperti lagu Sheila on 7 kembali menggebu. Pas noleh ke belakang, Ambu udah pucat pasi, tapi Ambu terus berjuang berlari. Semangat Ambu, lanjutkan.

Sebelum masuk ke pesawat ada Teteh Maskapai yang tugasnya ngecek paspor dan boarding pas. Nah, kebetulan pas kemarin itu, bentukan tempat bediri si Teteh-nya itu di tengah jalan dengan sisi kanan dan kiri yang lebar, sehingga memungkinkan orang bisa berlari gitu aja ngelewatin si tempat ngecek. Itu kejadian sama tim kami. Paspor kan di si Azman nih ye. Si Masgan yang terlalu bersemangat berlari, malah nyampe duluan dibanding si Azman yang pegang paspor, trus dia nyelonong ae gitu udah mau masuk ke dalem pesawat, sampe sama si Teteh Maskapainya dipanggil balik, pake Bahasa Indonesia, kebetulan Tetehnya orang Indo. 

Pas gue nyampe pemeriksaan, si Tetehnya bilang kalo pesawatnya juga baru parkir jadi santuy ae. Heleh kamvret udah cape banget gue lari nggak taunya masih yak trus op aja ini pesawat. Sebel. Tapi alhamdulillah, lah, nggak jadi ditinggal pesawat. 

***

Kejadian yang aya-aya wae terulang kembali waktu transit di Dubai. Si Masgan yang mungkin kelelahan karena drama, asal aja masukin paspor dan boarding pass nya ke kantong selipan majalah yang ada di depan tempat duduknya. Nah pas transit, turun dari pesawat, dia lupa ngambil paspornya sehingga dia harus berlari balik lagi ke atas pesawat. Untung pesawatnya belom pergi -_-.

Taksi kali ah abis nurunin penumpang pergi lagi.

Di Dubai, kami turun di terminal A. Padahalm pesawat kami yang berikutnya berangkat dari terminal C. Setelah baca-baca petunjuk arah, ada kereta antar terminal yang bisa dinaiki gratis. Yaudah deh kami cobain naik itu. Tulisan rutenya A --> B,C. Gue sih bacanya dari terminal A ke terminal B dan terminal C. Kereta berjalan sebentar, terus berhenti di terminal B. Pas pintu kebuka kami liat-liatan. Ini tuh turun sini? Atau ada terminal C?

"Kayaknya masih ada terminal C deh." Kata Mbaap. Yaudah, kami iya aja.

LAH KAGA TAUNYA TU KERETA BALIK LAGI KE TERMINAL A, SI KOCAK. 

Kami ngakak di kereta, heran bisa goblo banget ini otak. Akhirnya di terminal A kami diem lagi, baru turun di terminal B, dan jalan ke terminal C. 

***

Yah pada akhirnya kami sampai Soetta dengan selamat tanpa kekurangan sesuatu apapun. Eh ada 1 sih kekurangannya, selain kurang waras: kurang lama di Delft-nya. Rasa-rasanya pengen balik lagi buat sekolah di sana. Menyenangkan banget. Mudah-mudahan ada rejekinya. 

Terima kasih atas dukungan semua pihak yang telah mewujudkan keinginan kami berpetualang keliling eropa. Semoga sering-sering ada dana ngocor buat berangkatin kami rame-rame kayak begini. 

Cheers. 

Lah udah enam bulan kagak posting. 

Selama enam bulan banyak banget naik turun kehidupan, tapi ya udah lah ya namanya juga hidup. Kalo hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. 

Oke, mari kita abaikan pepatah barusan.

Bulan Oktober 2023 jadi salah satu bulan bersejarah dalam kehidupan gue selama 32 tahun (wait, what?) ini, karena, untuk pertama kalinya dalam hidup, gue menginjakkan kaki di eropa. Di Belanda, lebih tepatnya. Adalah sebuah program joint research yang menyediakan kesempatan tersebut. 

Hal pertama yang gue komentarin adalah: Buset ini VOC udah ngejajah ngambil rempah kita 3.5 abad tapi makanannya masih hambar ini gimana deh ceritanya?

Baru 4 hari sih gue di sini, dan gue yakin banyak yang bisa diexplore lebih lanjut (selain ilmu yang bermanfaat, tentu). Jadi mungkin dalam beberapa hari gue bakalan memposting kelucuan-kelucuan selama tinggal 2 minggu di sini. 

Cheers!

Mereka bilang perempuan tidak bisa memimpin. Mama-mama bangkit dan melawan.

Oke, kali ini gue akan membahas tentang sebuah film dokumenter yang bagus, berjudul Our Mothers' Land. Filmnya sendiri bisa ditonton di sini. 

Ceritanya kemarin iru Mas Yogi dan teman-temannya di Suar Nusantara diundang ke sebuah acara dari salah satu NGO lingkungan. Salah satu kegiatannya adalah screening film ini. Terus gue tanya lah, film nya bagus apa nggak? Terus katanya bagus.

Dan pas gue nonton, beberapa kali gue... merinding.

Our Mothers' Land berkisah tentang seorang jurnalis yang mendatangi beberapa perempuan pemimpin gerakan kolektif dalam konflik agraria. Secara sederhana bisa gue simpulkan bahwa, perempuan-perempuan ini berusaha mempertahankan lahan yang mereka miliki supaya tidak dieksploitasi berbagai oleh para pemilik modal. Pemilik modal tersebut, berencana mengubah peruntukan lahan, yang berpotensi merugikan masyarakat lokal. Ya bikin pencemaran, ya ngerusak sumber mata air, ya ngerusak mata pencaharian juga. 

Film ini mengambil tiga lokasi konflik: Kendeng, di mana terdapat Srikandi Kendeng yang melawan pembangunan pabrik semen, Luwuk, dengan gerakan lolektif petani yang menentang pembangunan perkebunan sawit, serta Nusa Tenggara, yang melawan penambangan dengan menenun. Film ditutup diskusi dengan salah satu pendiri NGO di Aceh yang fokus pada perlindungan Kawasan Ekosistem Leuser,

Dari awal sampe akhir film, gue nggak habis-habisnya istigfar dan mikir, kok ada ya orang yang tega merusak alam segitunya buat memperkaya diri sendiri dan golongannya. Melihat gimana beratnya perjuangan di berbagai tempat di Indonesia melawan eksploitasi alam, rasanya bikin pengen nangis. Harga yang dibayar juga nggak murah. Mulai dari kehilangan teman yang meninggal, dipenjara, kehilangan mata pencaharian, hingga luka fisik dan psikis.

Perempuan, menjadi ujung tombak di gerakan-gerakan tersebut, untuk menghindari terjadinya kekerasan. Tapi tetep aja, pemilik modal yang backing-an nya aparat dan preman, melakukan berbagai cara supaya usaha mereka tetap berjalan. Gerakan terus dilakukan, walaupun hasil yang terlihat nggak serta-merta langsung besar. Konflik agraria juga nggak ujug-ujug beres. Tapi, mereka tetap berjuang untuk mempertahankan apa yang menurut mereka baik dan benar.

Film ini recommendid banget buat melihat beberapa gerakan lingkungan, terutama penelusuran terhadap peran perempuan. Seperti quote yang gue tuliskan di awal, bahwa di tempat di mana lelaki selalu dijadikan pemimpin dan perempuan dianggap tidak punya sumber daya yang setara, perempuan bersatu, melawan, dan memimpin penolakan pengrusakan.

Nggak, gue nggak mau bahas pelem yang hits di beberapa tahun yang lalu itu. 

Gue mau bahas soal kondisi gue. 

Namanya neuro-divergent.

Apa tuh?

Neurodivergent is a nonmedical term that describes people whose brains develop or work differently for some reason. This means the person has different strengths and struggles from people whose brains develop or work more typically. While some people who are neurodivergent have medical conditions, it also happens to people where a medical condition or diagnosis hasn’t been identified

Jadi secara sederhana, otak manusia itu berkembang menjadi beragam macem. Tapi, ada satu kondisi umum yang jadi acuan "Nih loh, cara kerja manusia pada umumnya tuh begini". Nah, orang dengan neurodivergent ini, otaknya nggak berkembang secara tipikal. jadi ada yang beda gitu, sehingga ada perbedaan dalam cara otak merespon sesuatu.

Gimana cara tau kita ini neurodivergent atau neurotypical? 

Cek. Ke psikolog gaes. 

Nah, lalu, bagaimana ceritanya gue bisa tau gue neurodivergent?

Pernah gue ceritakan singkatnya di sini. Intinya, pada tahun 2015 gue interview sama psikolog saat sedang ikut tes kerja di sebuah perusahaan. Setelah ngobrol panjang lebar, beliau bilang ada kemungkinan gue punya ADD (sekarang lazim disebut ADHD aja). Pokoknya itu salah satu kondisi neurodivergent itu. Gue juga nggak paham-paham amat, tapi yang gue tangkep, neurodivergent alias perbedaan cara kerja otak gue membuat gue mengembangkan simptom ADHD. 

Berbekal informasi tersebut gue... biasa aja. Hahahahaha. Asli gue nggak ngapa-ngapain karena gue kira oh yaudah ADHD tuh pokoknya gue pelupa, gue nggak bisa diem, otak gue ribut banyak yang dipikirin, gue nggak bisa fokus, mudah bosen, seneng bergerak, yang gitu-gitu lah. Gue kira yaudah aja gitu selesai. 

Sampai di 2021, gue stres berat. Berat banget, banyak banget pikiran, banyak banget tantangan mulai dari masalah keluarga, karir, asmara. Berantakan banget hidup gue, sampe akhirnya gue memutuskan untuk konsul ke psikolog. Konsulnya online di ibunda.id karena kebetulan lagi pandemi tuh jadi gue juga rada bingung konsul ke psikolog harus ke mana, Setelah beberapa sesi di ibunda.id, gue cukup membaik, terutama dalam memanaj kecemasan. Saat itu gue dibantu Mbak Upik. 

Hingga suatu saat, di salah satu sesi, Mbak Upik bertanya,

"Apa kamu pernah didiagnosis punya ADHD?"

Loh. Gue terus keinget ((peristiwa)) 2015. Gue cerita lah. Terus gue tanya, apa ada kaitannya sama kesetresan yang gue alami? Psikolog gue menjelaskan, kalau ada kemungkinan kondisi neurodivergent ini kalau tidak terdiagnosis dengan baik dan tidak dimanaj dengan tepat, bisa memperburuk kecemasan. Beliau lalu merekomendasikan gue ke salah satu psikolog di Bandung yang bisa didatangi secara offline. Alhamdulillah, lokasinya di Tamansari, aksesibel banget dah.

Setelah diskusi, wawancara, dan beberapa tes, ya kurang lebih begitulah memang diagnosisnya. ADHD. Gue lalu berdiskusi bagaimana baiknya mengelola perbedaan ini. Psikolog gue, Bu Dinda namanya, menyarankan beberapa hal. Gue bikin poin aja kali ya biar mudah dibacanya.

1. Keteraturan. Punya rutinitas agaknya membantu gue biar nggak merasa overwhelmed apalagi sampai burnt out karena banyak hal yang harus dikerjakan. Gue sejauh ini pakai penanda jam makan. Pokoknya olahraga ringan pagi-pagi sebelum sarapan sekitar jam 7-8. Makan siang jam 13-14. Makan malah 18-19. Pagi kerja yang mikir banget, siang kadang leyeh-leyeh, kadang kerja ringan-ringan, sore olahraga, malem leha-leha. Lama-lama gue bisa menemukan celah dan membaca situasi gue sendiri. 

2. Realistis. Gue beneran tertampol pada bagian ini, karena gue merasakan sendiri. Katanya sih, orang ADHD ini sering kekurangan dopamin, hormon yang memicu sensasi menyenangkan. Kalo menurut kita nih kerjaan menyenangkan, dahlah nggak bakal tuh ditinggalin barang sedetik. Tapi kalo nggak menarik, sedetik pun nggak bakalan dilirik. Itu juga ternyata jadi alasan kenapa gue seneng banget ngerjain sesuatu tanpa disuruh, tapi begitu disuruh gue nggak bakalan ngerjain lagi, karena rasa senangnya kayak direnggut. Nah, Bu Dinda menyarankan gue realistis dalam menyusun jadwal. Misal sehari kerjain beberapa kerjaan. Pokoknya yang kira-kira bakalan kelar hari itu. Nah, kalo tu kelar tuh, gue senang kan, jadi besokannya bisa semangat ngerjain pekerjaan lainnya. Pokoknya realistis. Dan "kerjaan" di sini tuh nggak melulu besar kayak misalnya "nyusun report riset 3 tahun". Tapi bisa hal kecil misal "ngumpulin paper buat desk study". Atau "Nulis latar belakang laporan". Atau "Ngecek laporan studio". 

3. Rencanakan dengan detail. Ini nyambung sama poin 2 yaitu realistis. Gue selalu menulis to do list macem gini: Bikin laporan riset. Buat proposal. Tulis paper penelitian. Padahal, di dalam setiap komponen itu, ada banyak sub komponen yang harus dipertimbangkan. Misalnya dalam bikin laporan, ada bikin latar belakang, bikin analisis, bikin simpulan. Nah itu udah 3 bagian sendiri noh. Kalo gue cuma nulis bikin laporan, sampe lebaran sapi juga itu to do list kagak bakal bisa dicoret. Akibatnya gue jadi nggak merasa hepi, merasa demotivasi, lalu jadi nggak dikerjain sama sekali. Wah bahaya kan itu. Otak neurodivergent ini memang katanya kalo ada tugas nggak menarik memang nggak bisa ngerjain. Bukan nggak mau ya. Tapi emang nggak bisa. Iya sih gue kalo dipaksa-paksa juga bukannya kaga mau tapi kayak gabisa aja gitu. Itulah pentingnya untuk merencanakan dengan detail, supaya ada rasa senang tipis-tipis, kemenangan kecil yang bisa membuat gue mau melanjutkan kerjaan lain di hari esok. 

4. Prioritas. Karena untuk mengerjakan sesuatu butuh pensuasanaan yang tepat sampai bisa fokus, akibatnya gue butuh waktu jauh lebih lama dan usaha jauh lebih besar ketika mengerjakan sesuatu. Kalo energi gue abis buat ngerjain sesuatu yang nggak penting-penting amat, ya sayang dong ya. Memilah aktivitas ini cukup jadi peer buat gue, karena rasanya gue pengen ngerjain semua, pengen ngebenahin galaksi. Tapi akhirnya setelah dua tahun, bisa juga gue menentukan prioritas. Ada matriks yang gue pake buat menentukan prioritas ini, kapan-kapan gue bahas deh.

5. Journaling. Nah ini sebenernya yang menantang sekaligus membantu. Dengan menulis jurnal, gue bisa tahu apa yang bikin gue seneng, bikin gue sedih, aktivitas apa yang gue lakukan, berat atau tidak, ada kendala apa hari itu dan cara gue menyelesaikannya. Jurnal ini membantu gue banget di hari-hari selanjutnya kalo-kalo gue menemui situasi yang sama. 

Nah, tambahan dari gue adalah gue bikin alarm. Iya ini membantu banget. Gue tuh suka lupa. Separah itu lupanya, karena katanya sih konsep "waktu" di kepala neurodivergent itu cuma 2: sekarang sama bukan sekarang. Ya jadi kalo nggak dikerjain sekarang, nggak bakalan tuh diinget. Sesimpel ada chat dari temen nanyain file. Karena lagi nanggung ngerjain sesuatu, gue mikir "Nanti aja lah gue balesnya pas santai.". Habis itu apakah dibalas? Ya dibalas, tapi mungkin 3 hari kemudian. Itu juga menjelaskan pertanyaan Mala ke gue soal "Lo kenapa sih kalo gue chat langsung bales?" Ya karena kalo nggak dibales langsung gue bakalan langsung lupa sih :(( Nah, bikin alarm di handphone ini sungguh membantu. Sesimpel update data alumni atau pesen tiket kereta, itu gue bikin alarmnya di handphone. Iya, serius. Receh tapi sungguh menolong. 

Setelah ke psikolog, terapi, diskusi, dan menerapkan tips en trik dari psikolog, gue merasa hidup gue sangat jauh-jauh jauh jauuuuuuuuuuuuuuuhhhhhhhhh lebih mudah. Jadi sederhana. Jadi lebih terprediksi. Gue jadi lebih peka sama kondisi diri sendiri. Bisa ngukur kemampuan. Bisa ngatur kapan harus bilang iya dan kapan bilang nggak. Yang paling gue senang adalah, produktivitas gue naik. Gue bisa menyamai, bahkan melebihi orang pada umumnya. 

Tapi yang sesungguhnya jadi titik balik adalah, ketika gue beneran paham apa itu ADHD dan pengaruhnya ke hidup gue. Seumur hidup, selama 30 tahun gue hidup, gue selalu mikir kalo gue ini pemalas. Kalo gue ini bodo. Tiap lihat temen yang kecapekan masih bisa kerja. Lihat temen yang bilangnya susah, nggak ngerti, tapi masih bisa usaha buat belajar. Gue sama sekali nggak bisa melakukan itu, dam gue nggak tau kenapa. Plus ortu juga ya, tipe ortu yang pokoknya kamu A atau B. Kamu rajin atau kamu males. Kamu pinter atau kamu bodo. Tanpa bertanya ada kendala apa, ada kesulitan apa, apa yang kira-kira bisa dibantu. 

Gue tahu ortu gue juga mungkin dulu bingung melihat gue kayak... ya bodo aja gitu, ya males-malesan aja gitu, nggak mau sekolah aja gitu. Padahal gue pun berjuang banget, tapi gue nggak ngerti kenapa gue tuh begini. Kebayang nggak, udah nggak ngerti gue kenapa, nggak bisa cerita, nggak bisa nyelesaiin, nggak ada bantuan pula. Akhirnya gue cari bantuan sendiri, dan itu pun setelah usia 30. Telat ya? Ya nggak juga sih. Karena setelah diagnosis, semuanya langsung masuk akal. Bahkan cara gue bercerita yang sangat detail pun, katanya itu salah satu gejala kuat soal neurodivergent ini, karena gue bisa ingat detail dari sesuatu yang gue anggap menarik, dan gue akan bener-bener nggak akan ingat sama sesuatu yang nggak menarik buat gue.

Gue sangat bersyukur sudah memberanikan diri ke psikolog. Bertemu Mbak Upik dan Bu Dinda. Berterima kasih pada psikolog yang tahun 2015 ngajak ngobrol soal kondisi tersebut. Kondisi ini mungkin nggak akan bisa dibikin jadi normal, tapi setidaknya gue sudah punya kesadaran diri dan kendali penuh pada diri gue, sehingga gue bisa menciptakan lingkungan yang cukup nyaman buat gue berkegiatan seperti orang-orang pada umumnya. 

Pertanyaan paling besar yang ada di kepala gue: "Aku ini males atau bodo ya?" bisa gue jawab dengan "Ternyata aku neurodivergent".

Sebelum gue dan Yogi pacaran, Yara, si sendal jepit alias teman yang kemana-mana selalu pergi berdua sama gue juga punya pacar. Kami (gue dan Anche sebagai anggota tetap geng Julida Tunggal Ika) mengenal pacar Yara dengan nama Satya.

Dari cerita Yara, Satya adalah anak pertama, tinggal di Setiabudi, dan punya warung makan di DU. Anaknya suka males foto, karena sekalinya foto fail.Walaupun sudah hampir dua tahun keduanya pacaran, gue dan Anche sama sekali belum pernah ketemu sama Satya. Posisi Yara yang kerja di Jakarta dan cuma ke Bandung sebulan sekali, gue sempet bermukim di Jogja dan ke Bandung juga sebulan sekali, Anche tinggal di Karawang, membuat jadwal panggih pacar ini jadi sulit terwujud. Apalagi Satya jualan, jadi stanby di lapaknya. Jadi ya kalo mau ketemu mesti ke sana.

Pas awal-awal, yang gue tahu, Satya ini anak Unpad. Udah gitu doang. Sampai pada akhirnya gue pacaran sama Yogi, gue mulai nanya, Satya ini dulunya jurusan apa di Unpad?

"Administrasi Bisnis" Gitu kata Yara. 

"Oooh..." Gue mikir bentar. "Itu FISIP kan ya masuknya? Loh, berarti sefakultas sama Yogi dong."

Akhirnya gue tanya sama Yogi, kenal nggak sama Satya?

"Satya?" Jidat Yogi berkerut membentuk sepuluh gelombang kanan dan sepuluh gelombang kiri dengan tinggi tiga meter kayak gorden jualan Kak Jill yang suka dapet diskon dari supa dupa tiktok darling.

"Iyah. Anak Bisnis cenah. Kenal nggak?"

Diem lama.

"Nggak tuh. Tapi coba kalo ada fotonya, mungkin aku tau atau pernah liat."

Gue mewajarkan sih kalo Yogi nggak kenal. Namanya juga beda jurusan, walaupun sefakultas. Kayak gue nih, bisa aja gue nggak kenal sama anak Sipil atau Kelautan, walaupun sefakultas. Waktu nanya itu gue belum punya fotonya Satya tuh. Terus percakapan itu terlupakan begitu saja. 

Yara lalu cerita sama Satya soal "sobatnya waktu S1 pacaran sama anak FISIP Unpad namanya Yogi." 

Awalnya Satya kayak mikir-mikir gitu, Yogi yang mana. Dia bilang mungkin dia tau Yogi yang mana. Terus, beberapa kali Satya cerita ke Yara kalo dia ketemu temennya yang namanya Yogi. Tapi menurut Yara, cerita Satya kayak meragukan. 

"Emang apa kata Satya?" Tanya gue penasaran.

"Iya, masa dia bilang ketemu Yogi lagi naik motor terus dia sapa. Ni anak ketemu Yogi siapa dah, sok tau aja kali ya?" Gitu tanggapan Yara. "Dia bilang Yogi naik vario putih di DU terus disapa sama dia, tapi ya udah cuma nyapa soalnya Yoginya lagi naik motor."

"....Oke?"

Lalu di lain waktu Yara bilang kalo Satya ketemu Yogi lagi di deket lapak, lagi sama temen-temennya.

"Terus ngobrol cenah. Tapi kok meragukan ya. Yogi nggak cerita apa-apa?"

"Nggak." Kata gue. Obrolan itu terlupakan lagi, dan gue nggak nanya ke Yogi karena Yara bilang "Pacar aku mah suka sok kenal, sok tau."

Oke baik bund.

Lalu, yang terakhir, Yara chat di grup Julida. Dia bilang,

"Masa Satya bilang habis ketemu Yogi lagi kemarin-kemarin di lapak."

Pas banget gue lagi sama Yogi. Terus gue cerita lah. Awalnya kami ketawa-ketawa karena mikir Satya salah orang, sampe gue ceritain kejadian pertama yang Satya cerita kalo dia ketemu Yogi naik motor di DU terus disapa.

Yogi tiba-tiba diem.

"Tunggu. Pacar Yara namanya Satya apa Satria?"

Eh bentar. Seinget gue, kata Yara pacarnya emang namanya Satria, tapi di rumah dipanggilnya Satya.

"Anak bisnis?"

"Iyah."

"Punya warung makan di DU?"

"Iyah."

"Deket taman firness bukan?"

"Lah, iyaah."

"Mintain fotonya ke Yara. Aku solat dulu." Kata Yogi, pas waktu itu emang udah masuk waktu magrib jadi doi mau solat dulu. Tapi gue yakin solatnya kaga khusu nungguin foto Satya/Satria dari Yara.

Trus Yara kirim fotonya. Beres Yogi solat, gue kasih liat fotonya. Bibir Yogi langsung mengerucut.

"ITU MAH SI SATRIA."

Iya. Kenal gaes. 

Ternyata mereka dulu sama-sama di BEM waktu kuliah di Unpad. Kesel juga, ternyata mereka kenal. Dan ternyata, yang diceritain Satya ke Yara itu enggak halu, alias mereka emang beberapa kali ketemu dan ngobrol di DU.

Besokannya gue dan Yara makan berdua sambil ngakak. Ternyata Bandung emang sesempit itu, sampe pacar-pacar kami aja kenal, padahal sebelumnya kami kenal pacar bukan dari circle yang sama.

Random sekali. 

Bisa diangkat jadi sinetron Indosiar dengan judul Pacarku ternyata adalah teman organisasinya pacarnya sahabatku ketika kuliah.

Huft.