Ketika Hayati Lelah
18.52
Seumur hidup, baru sekali ini gue naik mobil yang diderek.
Bermula dari acara survey Program Kampung Iklim di DKI Jakarta dan kerinduan akan rumah yang memuncak, gue, Teh Vika, Yara, dan Fazani memutuskan untuk pulang ke Bandung di hari jumat malam. Kami baru kelar survey ke Sunter Jaya jam 5 sore, dalam kondisi lapar, dahaga, ngantuk, dan macet. Ya sudahlah, kami lalu melipir ke Kokas buat makan dan istirahat. Setelah tiga hari berkelana ke 4 RW yang jauhnya nyaingin Sabang sampai Merauke, kami butuh sedikit hiburan.
Jam setengah sepuluh malam, setelah beres makan di Solaria plus makan dessert di Sumoboo, kami berempat meluncur di jalanan. Biar nggak ngantuk, kami ngobrol, lebih tepatnya curhat, tentang masalah percintaan masing-masing yang ngenes maksimal nggak ada dua. Gue sama Teh Vika sih yang lebih banyak kena, menindaklanjuti cerita kepotong di Sumoboo tentang orang yang akhir-akhir ini bikin kami senyum-senyum sendiri.
Di KM 100-an, kami mendadak merasakan kalo AC mobil jadi panas. Pertamanya kami mikir gara-gara hais nyalip truk. Nggak nyambung dan ngga ada teorinya sih, tapi kami cuek aja. Begitu terus beberapa kali sampai tiba-tiba indikator suhu mobil berwarna merah. Panik, Teh Vika minggirin mobil. Gue merasa melihat ada asap keluar dari kap mobil Picanto putih tersebut.
"Bukan ah itu mah debu." Kata Yara, entah emang mikir begitu, atau berusaha berpikir positif supaya yang lain nggak panik. Tapi lama-kelamaan asap tipis tersebut nggak hilang-hilang. Mulai panik lah kami.
Kami berempat keluar dari mobil, celingukan kesana-kemari kayak anak ayam kepencar dari emaknya. Jam 1 pagi, cewek semua, di KM 100-an, habis curhat masalah cinta, terus tahu-tahu terdampar kayak pengungsi banjir rob ; wajah galau, mata ngantuk, badan lemes. Hingga datang bantuan dari Bapak-Bapak Jasa Marga yang lagi patroli.
"Kenapa Mbak, mogok total?" Tanya si Bapak. Teh Vika lalu menjelaskan kalo mobil masih bisa jalan tapi berasap. Salah seorang Bapak tersebut mengambil satu jerigen air dari mobil mereka. Yang satu berusaha membuka kap mobil yang panasnya amit-amit. Setelah berkali-kali nuang air-starter mobil-tuang air lagi-starter lagi sampe enek, si Bapak baru ngeh jika masalah terdapat pada kipas.
"Kipasnya mati mbak. Jadi airnya langsung nguap, nggak bisa mendinginkan mesin. Saran saya sih jangan dilanjut, mending diderek aja."
"Aaa kasian mobilnya." Kata gue. "Mungkin Hayati mulai lelah."
"Hayati?" Yang lain bingung.
"Iya, Hayati." Gue mengangguk. "Lelah hati hayati Bang..."
Semua menatap gue, lalu menatap Hayati, lalu diam. Hingga akhirnya Teh Vika memanggil kami menjauh sedikit dari mobil. Kami langsung ngeriung berempat. Apalagi kalo bukan diskusi biaya derek. Kan nggak lucu kalo tiba-tiba dengan jumawa minta diderek tapi pas turun nggak punya duit buat bayar. Bisa diderek ke tempat jualan mobil.
"Nggak apa-apa cenah katanya bapa aku aja yang bayar." Kat Teh Vika.
Maka kami mengiyakan untuk diderek pake derek Jasa Marga yang gratis sampe gerbang tol terdekat, yang mana adalah Padalarang. Lepas dari Padalarang, kami bayar sekitar 10.000 per KM. Rencananya kami bakalan keluar di Kopo, dan minta diderek sampe komplek rumah Teh Vika. Berdasarkan hitung-hitungan, akan kena biaya sekitar 400.000. Ya udah deh bodo amat, daripada nongkrong di tol sampe subuh.
Maka duduklah kami di dalam mobil yang bodi depannya terangkat sekitar setengah meter dari tanah. Ketika mobilnya mulai diderek, entah kenapa, kami berempat super excited. Si Yara pake acara moto-moto pula. Tapi nggak sampe lima menit, semuanya molor, pules, sampe mesti dibangunin yang jaga gardu tol lantaran nggak ada yang stand by buat bayar biaya tol.
Secara keseluruhan, peristiwa Hayati kelelahan dan diderek hingga Kopo membawa beberapa hikmah bagi kami. Selain Teh Vika bisa istirahat setelah nyetir puluhan tahun, kami bisa istirahat juga. Coba kalo si Hayati sehat walafiat, sampe Bandung kami nggak bakalan tidur dan nggak bisa ngerjain laporan paginya.
Hikmah yang lain tentu saja, si mobil jadi punya nama : Hayati.
Di KM 100-an, kami mendadak merasakan kalo AC mobil jadi panas. Pertamanya kami mikir gara-gara hais nyalip truk. Nggak nyambung dan ngga ada teorinya sih, tapi kami cuek aja. Begitu terus beberapa kali sampai tiba-tiba indikator suhu mobil berwarna merah. Panik, Teh Vika minggirin mobil. Gue merasa melihat ada asap keluar dari kap mobil Picanto putih tersebut.
"Bukan ah itu mah debu." Kata Yara, entah emang mikir begitu, atau berusaha berpikir positif supaya yang lain nggak panik. Tapi lama-kelamaan asap tipis tersebut nggak hilang-hilang. Mulai panik lah kami.
Kami berempat keluar dari mobil, celingukan kesana-kemari kayak anak ayam kepencar dari emaknya. Jam 1 pagi, cewek semua, di KM 100-an, habis curhat masalah cinta, terus tahu-tahu terdampar kayak pengungsi banjir rob ; wajah galau, mata ngantuk, badan lemes. Hingga datang bantuan dari Bapak-Bapak Jasa Marga yang lagi patroli.
"Kenapa Mbak, mogok total?" Tanya si Bapak. Teh Vika lalu menjelaskan kalo mobil masih bisa jalan tapi berasap. Salah seorang Bapak tersebut mengambil satu jerigen air dari mobil mereka. Yang satu berusaha membuka kap mobil yang panasnya amit-amit. Setelah berkali-kali nuang air-starter mobil-tuang air lagi-starter lagi sampe enek, si Bapak baru ngeh jika masalah terdapat pada kipas.
"Kipasnya mati mbak. Jadi airnya langsung nguap, nggak bisa mendinginkan mesin. Saran saya sih jangan dilanjut, mending diderek aja."
"Aaa kasian mobilnya." Kata gue. "Mungkin Hayati mulai lelah."
"Hayati?" Yang lain bingung.
"Iya, Hayati." Gue mengangguk. "Lelah hati hayati Bang..."
Semua menatap gue, lalu menatap Hayati, lalu diam. Hingga akhirnya Teh Vika memanggil kami menjauh sedikit dari mobil. Kami langsung ngeriung berempat. Apalagi kalo bukan diskusi biaya derek. Kan nggak lucu kalo tiba-tiba dengan jumawa minta diderek tapi pas turun nggak punya duit buat bayar. Bisa diderek ke tempat jualan mobil.
"Nggak apa-apa cenah katanya bapa aku aja yang bayar." Kat Teh Vika.
Maka kami mengiyakan untuk diderek pake derek Jasa Marga yang gratis sampe gerbang tol terdekat, yang mana adalah Padalarang. Lepas dari Padalarang, kami bayar sekitar 10.000 per KM. Rencananya kami bakalan keluar di Kopo, dan minta diderek sampe komplek rumah Teh Vika. Berdasarkan hitung-hitungan, akan kena biaya sekitar 400.000. Ya udah deh bodo amat, daripada nongkrong di tol sampe subuh.
Maka duduklah kami di dalam mobil yang bodi depannya terangkat sekitar setengah meter dari tanah. Ketika mobilnya mulai diderek, entah kenapa, kami berempat super excited. Si Yara pake acara moto-moto pula. Tapi nggak sampe lima menit, semuanya molor, pules, sampe mesti dibangunin yang jaga gardu tol lantaran nggak ada yang stand by buat bayar biaya tol.
Secara keseluruhan, peristiwa Hayati kelelahan dan diderek hingga Kopo membawa beberapa hikmah bagi kami. Selain Teh Vika bisa istirahat setelah nyetir puluhan tahun, kami bisa istirahat juga. Coba kalo si Hayati sehat walafiat, sampe Bandung kami nggak bakalan tidur dan nggak bisa ngerjain laporan paginya.
Hikmah yang lain tentu saja, si mobil jadi punya nama : Hayati.
3 komentar
wah, ntaps nih kak (y)
BalasHapusAduh dek makasih ya. Mau nyoba diderek juga? :"
Hapusbahahhabaa
BalasHapus