Adalah sebuah kelucuan ketika sebuah kacamata bercerita sangat banyak tentang gue. Hidup gue. Apa yang gue lalui. Apa yang gue hindari. Apa yang gue dapatkan. Sejenis itulah.
Gue baru saja mengganti kacamata, setelah sekitar 7 tahun nggak ganti frame. FYI gue rutin ngecek kondisi mata ke optik tiap tahun, tiap bulan Oktober. Tapi 2017 adalah tahun kadcau balau padat dan sejenisnya, hingga gue melewatkan Oktober pertama dalam hidup gue tanpa cek ke optik.
Awal Februari ini, karena kondisi mata mulai makin nggak enak, gue memutuskan untuk segera cek ke optik. Kali ini, didorong - entah oleh apa - gue bertekad mau ganti frame. Biasanya, tiap gue cek dan ternyata minus / silindris gue berubah, gue akan tetap pake frame yang sama, cuma ganti lensa aja. Di saat kacamata masih disiapkan, gue biasa pakai lensa kontak.
Tapi tidak dengan tahun ini. Gue bertekad harus ganti.
Sebelum kacamata gue pensiun, gue melihat dia sekali lagi. Levi's yang frame dalemnya loreng-loreng, dengan tulisan Levi's mentereng di sisi kanan framenya. Seumur gue hidup, cuma beberapa orang yang gue temui pakai frame model gitu. Salah satunya adalah orang yang gue berharap bisa menghabiskan sisa hidup sama dia, atau sekalian aja ngga usah ketemu dari awal karena sulit sekali buat cari gantinya.
E.
Bahkan setelah cerita kami selesai 11 tahun yang lalu pun, masih ada bekas-bekas yang bikin ngilu di hati. Even seremeh kacamata.
Makanya gue bertekad ganti frame. Kacamata ini udah rusak. Udah usang. Udah nggak relevan lagi. Gue pun membeli frame baru. Warnanya hitam. Merknya Rayband.
Tapi bentuknya se-mirip-itu sama kacamata lama, sampai nggak ada yang sadar kalo gue ganti kacamata.
Seorang teman bercanda,
"Lo mah mau move on juga tetep aja seleranya sama ya."
Gue melihat ke belakang, membandingkan dengan apa yang ada di depan gue.
Dalam hati, gue mengamini yang dikatakan si teman.
Mau seperti apapun, gue tidak bisa benar-benar berpindah dari tipe yang sudah membuat gue nyaman, walaupun itu hanya sebuah kacamata.