Nggak, gue nggak mau bahas pelem yang hits di beberapa tahun yang lalu itu.
Gue mau bahas soal kondisi gue.
Namanya neuro-divergent.
Apa tuh?
Neurodivergent is a nonmedical term that describes people whose brains develop or work differently for some reason. This means the person has different strengths and struggles from people whose brains develop or work more typically. While some people who are neurodivergent have medical conditions, it also happens to people where a medical condition or diagnosis hasn’t been identified
Jadi secara sederhana, otak manusia itu berkembang menjadi beragam macem. Tapi, ada satu kondisi umum yang jadi acuan "Nih loh, cara kerja manusia pada umumnya tuh begini". Nah, orang dengan neurodivergent ini, otaknya nggak berkembang secara tipikal. jadi ada yang beda gitu, sehingga ada perbedaan dalam cara otak merespon sesuatu.
Gimana cara tau kita ini neurodivergent atau neurotypical?
Cek. Ke psikolog gaes.
Nah, lalu, bagaimana ceritanya gue bisa tau gue neurodivergent?
Pernah gue ceritakan singkatnya di sini. Intinya, pada tahun 2015 gue interview sama psikolog saat sedang ikut tes kerja di sebuah perusahaan. Setelah ngobrol panjang lebar, beliau bilang ada kemungkinan gue punya ADD (sekarang lazim disebut ADHD aja). Pokoknya itu salah satu kondisi neurodivergent itu. Gue juga nggak paham-paham amat, tapi yang gue tangkep, neurodivergent alias perbedaan cara kerja otak gue membuat gue mengembangkan simptom ADHD.
Berbekal informasi tersebut gue... biasa aja. Hahahahaha. Asli gue nggak ngapa-ngapain karena gue kira oh yaudah ADHD tuh pokoknya gue pelupa, gue nggak bisa diem, otak gue ribut banyak yang dipikirin, gue nggak bisa fokus, mudah bosen, seneng bergerak, yang gitu-gitu lah. Gue kira yaudah aja gitu selesai.
Sampai di 2021, gue stres berat. Berat banget, banyak banget pikiran, banyak banget tantangan mulai dari masalah keluarga, karir, asmara. Berantakan banget hidup gue, sampe akhirnya gue memutuskan untuk konsul ke psikolog. Konsulnya online di ibunda.id karena kebetulan lagi pandemi tuh jadi gue juga rada bingung konsul ke psikolog harus ke mana, Setelah beberapa sesi di ibunda.id, gue cukup membaik, terutama dalam memanaj kecemasan. Saat itu gue dibantu Mbak Upik.
Hingga suatu saat, di salah satu sesi, Mbak Upik bertanya,
"Apa kamu pernah didiagnosis punya ADHD?"
Loh. Gue terus keinget ((peristiwa)) 2015. Gue cerita lah. Terus gue tanya, apa ada kaitannya sama kesetresan yang gue alami? Psikolog gue menjelaskan, kalau ada kemungkinan kondisi neurodivergent ini kalau tidak terdiagnosis dengan baik dan tidak dimanaj dengan tepat, bisa memperburuk kecemasan. Beliau lalu merekomendasikan gue ke salah satu psikolog di Bandung yang bisa didatangi secara offline. Alhamdulillah, lokasinya di Tamansari, aksesibel banget dah.
Setelah diskusi, wawancara, dan beberapa tes, ya kurang lebih begitulah memang diagnosisnya. ADHD. Gue lalu berdiskusi bagaimana baiknya mengelola perbedaan ini. Psikolog gue, Bu Dinda namanya, menyarankan beberapa hal. Gue bikin poin aja kali ya biar mudah dibacanya.
1. Keteraturan. Punya rutinitas agaknya membantu gue biar nggak merasa overwhelmed apalagi sampai burnt out karena banyak hal yang harus dikerjakan. Gue sejauh ini pakai penanda jam makan. Pokoknya olahraga ringan pagi-pagi sebelum sarapan sekitar jam 7-8. Makan siang jam 13-14. Makan malah 18-19. Pagi kerja yang mikir banget, siang kadang leyeh-leyeh, kadang kerja ringan-ringan, sore olahraga, malem leha-leha. Lama-lama gue bisa menemukan celah dan membaca situasi gue sendiri.
2. Realistis. Gue beneran tertampol pada bagian ini, karena gue merasakan sendiri. Katanya sih, orang ADHD ini sering kekurangan dopamin, hormon yang memicu sensasi menyenangkan. Kalo menurut kita nih kerjaan menyenangkan, dahlah nggak bakal tuh ditinggalin barang sedetik. Tapi kalo nggak menarik, sedetik pun nggak bakalan dilirik. Itu juga ternyata jadi alasan kenapa gue seneng banget ngerjain sesuatu tanpa disuruh, tapi begitu disuruh gue nggak bakalan ngerjain lagi, karena rasa senangnya kayak direnggut. Nah, Bu Dinda menyarankan gue realistis dalam menyusun jadwal. Misal sehari kerjain beberapa kerjaan. Pokoknya yang kira-kira bakalan kelar hari itu. Nah, kalo tu kelar tuh, gue senang kan, jadi besokannya bisa semangat ngerjain pekerjaan lainnya. Pokoknya realistis. Dan "kerjaan" di sini tuh nggak melulu besar kayak misalnya "nyusun report riset 3 tahun". Tapi bisa hal kecil misal "ngumpulin paper buat desk study". Atau "Nulis latar belakang laporan". Atau "Ngecek laporan studio".
3. Rencanakan dengan detail. Ini nyambung sama poin 2 yaitu realistis. Gue selalu menulis to do list macem gini: Bikin laporan riset. Buat proposal. Tulis paper penelitian. Padahal, di dalam setiap komponen itu, ada banyak sub komponen yang harus dipertimbangkan. Misalnya dalam bikin laporan, ada bikin latar belakang, bikin analisis, bikin simpulan. Nah itu udah 3 bagian sendiri noh. Kalo gue cuma nulis bikin laporan, sampe lebaran sapi juga itu to do list kagak bakal bisa dicoret. Akibatnya gue jadi nggak merasa hepi, merasa demotivasi, lalu jadi nggak dikerjain sama sekali. Wah bahaya kan itu. Otak neurodivergent ini memang katanya kalo ada tugas nggak menarik memang nggak bisa ngerjain. Bukan nggak mau ya. Tapi emang nggak bisa. Iya sih gue kalo dipaksa-paksa juga bukannya kaga mau tapi kayak gabisa aja gitu. Itulah pentingnya untuk merencanakan dengan detail, supaya ada rasa senang tipis-tipis, kemenangan kecil yang bisa membuat gue mau melanjutkan kerjaan lain di hari esok.
4. Prioritas. Karena untuk mengerjakan sesuatu butuh pensuasanaan yang tepat sampai bisa fokus, akibatnya gue butuh waktu jauh lebih lama dan usaha jauh lebih besar ketika mengerjakan sesuatu. Kalo energi gue abis buat ngerjain sesuatu yang nggak penting-penting amat, ya sayang dong ya. Memilah aktivitas ini cukup jadi peer buat gue, karena rasanya gue pengen ngerjain semua, pengen ngebenahin galaksi. Tapi akhirnya setelah dua tahun, bisa juga gue menentukan prioritas. Ada matriks yang gue pake buat menentukan prioritas ini, kapan-kapan gue bahas deh.
5. Journaling. Nah ini sebenernya yang menantang sekaligus membantu. Dengan menulis jurnal, gue bisa tahu apa yang bikin gue seneng, bikin gue sedih, aktivitas apa yang gue lakukan, berat atau tidak, ada kendala apa hari itu dan cara gue menyelesaikannya. Jurnal ini membantu gue banget di hari-hari selanjutnya kalo-kalo gue menemui situasi yang sama.
Nah, tambahan dari gue adalah gue bikin alarm. Iya ini membantu banget. Gue tuh suka lupa. Separah itu lupanya, karena katanya sih konsep "waktu" di kepala neurodivergent itu cuma 2: sekarang sama bukan sekarang. Ya jadi kalo nggak dikerjain sekarang, nggak bakalan tuh diinget. Sesimpel ada chat dari temen nanyain file. Karena lagi nanggung ngerjain sesuatu, gue mikir "Nanti aja lah gue balesnya pas santai.". Habis itu apakah dibalas? Ya dibalas, tapi mungkin 3 hari kemudian. Itu juga menjelaskan pertanyaan Mala ke gue soal "Lo kenapa sih kalo gue chat langsung bales?" Ya karena kalo nggak dibales langsung gue bakalan langsung lupa sih :(( Nah, bikin alarm di handphone ini sungguh membantu. Sesimpel update data alumni atau pesen tiket kereta, itu gue bikin alarmnya di handphone. Iya, serius. Receh tapi sungguh menolong.
Setelah ke psikolog, terapi, diskusi, dan menerapkan tips en trik dari psikolog, gue merasa hidup gue sangat jauh-jauh jauh jauuuuuuuuuuuuuuuhhhhhhhhh lebih mudah. Jadi sederhana. Jadi lebih terprediksi. Gue jadi lebih peka sama kondisi diri sendiri. Bisa ngukur kemampuan. Bisa ngatur kapan harus bilang iya dan kapan bilang nggak. Yang paling gue senang adalah, produktivitas gue naik. Gue bisa menyamai, bahkan melebihi orang pada umumnya.
Tapi yang sesungguhnya jadi titik balik adalah, ketika gue beneran paham apa itu ADHD dan pengaruhnya ke hidup gue. Seumur hidup, selama 30 tahun gue hidup, gue selalu mikir kalo gue ini pemalas. Kalo gue ini bodo. Tiap lihat temen yang kecapekan masih bisa kerja. Lihat temen yang bilangnya susah, nggak ngerti, tapi masih bisa usaha buat belajar. Gue sama sekali nggak bisa melakukan itu, dam gue nggak tau kenapa. Plus ortu juga ya, tipe ortu yang pokoknya kamu A atau B. Kamu rajin atau kamu males. Kamu pinter atau kamu bodo. Tanpa bertanya ada kendala apa, ada kesulitan apa, apa yang kira-kira bisa dibantu.
Gue tahu ortu gue juga mungkin dulu bingung melihat gue kayak... ya bodo aja gitu, ya males-malesan aja gitu, nggak mau sekolah aja gitu. Padahal gue pun berjuang banget, tapi gue nggak ngerti kenapa gue tuh begini. Kebayang nggak, udah nggak ngerti gue kenapa, nggak bisa cerita, nggak bisa nyelesaiin, nggak ada bantuan pula. Akhirnya gue cari bantuan sendiri, dan itu pun setelah usia 30. Telat ya? Ya nggak juga sih. Karena setelah diagnosis, semuanya langsung masuk akal. Bahkan cara gue bercerita yang sangat detail pun, katanya itu salah satu gejala kuat soal neurodivergent ini, karena gue bisa ingat detail dari sesuatu yang gue anggap menarik, dan gue akan bener-bener nggak akan ingat sama sesuatu yang nggak menarik buat gue.
Gue sangat bersyukur sudah memberanikan diri ke psikolog. Bertemu Mbak Upik dan Bu Dinda. Berterima kasih pada psikolog yang tahun 2015 ngajak ngobrol soal kondisi tersebut. Kondisi ini mungkin nggak akan bisa dibikin jadi normal, tapi setidaknya gue sudah punya kesadaran diri dan kendali penuh pada diri gue, sehingga gue bisa menciptakan lingkungan yang cukup nyaman buat gue berkegiatan seperti orang-orang pada umumnya.
Pertanyaan paling besar yang ada di kepala gue: "Aku ini males atau bodo ya?" bisa gue jawab dengan "Ternyata aku neurodivergent".