Mereka bilang perempuan tidak bisa memimpin. Mama-mama bangkit dan melawan.
Oke, kali ini gue akan membahas tentang sebuah film dokumenter yang bagus, berjudul Our Mothers' Land. Filmnya sendiri bisa ditonton di sini.
Ceritanya kemarin iru Mas Yogi dan teman-temannya di Suar Nusantara diundang ke sebuah acara dari salah satu NGO lingkungan. Salah satu kegiatannya adalah screening film ini. Terus gue tanya lah, film nya bagus apa nggak? Terus katanya bagus.
Dan pas gue nonton, beberapa kali gue... merinding.
Our Mothers' Land berkisah tentang seorang jurnalis yang mendatangi beberapa perempuan pemimpin gerakan kolektif dalam konflik agraria. Secara sederhana bisa gue simpulkan bahwa, perempuan-perempuan ini berusaha mempertahankan lahan yang mereka miliki supaya tidak dieksploitasi berbagai oleh para pemilik modal. Pemilik modal tersebut, berencana mengubah peruntukan lahan, yang berpotensi merugikan masyarakat lokal. Ya bikin pencemaran, ya ngerusak sumber mata air, ya ngerusak mata pencaharian juga.
Film ini mengambil tiga lokasi konflik: Kendeng, di mana terdapat Srikandi Kendeng yang melawan pembangunan pabrik semen, Luwuk, dengan gerakan lolektif petani yang menentang pembangunan perkebunan sawit, serta Nusa Tenggara, yang melawan penambangan dengan menenun. Film ditutup diskusi dengan salah satu pendiri NGO di Aceh yang fokus pada perlindungan Kawasan Ekosistem Leuser,
Dari awal sampe akhir film, gue nggak habis-habisnya istigfar dan mikir, kok ada ya orang yang tega merusak alam segitunya buat memperkaya diri sendiri dan golongannya. Melihat gimana beratnya perjuangan di berbagai tempat di Indonesia melawan eksploitasi alam, rasanya bikin pengen nangis. Harga yang dibayar juga nggak murah. Mulai dari kehilangan teman yang meninggal, dipenjara, kehilangan mata pencaharian, hingga luka fisik dan psikis.
Perempuan, menjadi ujung tombak di gerakan-gerakan tersebut, untuk menghindari terjadinya kekerasan. Tapi tetep aja, pemilik modal yang backing-an nya aparat dan preman, melakukan berbagai cara supaya usaha mereka tetap berjalan. Gerakan terus dilakukan, walaupun hasil yang terlihat nggak serta-merta langsung besar. Konflik agraria juga nggak ujug-ujug beres. Tapi, mereka tetap berjuang untuk mempertahankan apa yang menurut mereka baik dan benar.
Film ini recommendid banget buat melihat beberapa gerakan lingkungan, terutama penelusuran terhadap peran perempuan. Seperti quote yang gue tuliskan di awal, bahwa di tempat di mana lelaki selalu dijadikan pemimpin dan perempuan dianggap tidak punya sumber daya yang setara, perempuan bersatu, melawan, dan memimpin penolakan pengrusakan.