Throw ALL The Memories
08.35Sambil ngetik, sambil dengerin lagu Memori yang sekarang dipopulerkan sama Richard Criss.
10 tahun kayaknya bukan waktu yang sebentar, ya kan?
Sebenarnya belum genap 10 tahun sih, tapi kurang lebih akan segera jadi sepuluh tahun, jika dihitung dari hari pertama aku bertemu dia, di sebuah hari cerah dengan sedikit angin yang menyusup masuk lewat celah-celah kusen pintu. Dia datang, seragamnya acak-acakan. Baju keluar dari celana, gesper miring, celana kusut sepertinya lupa diseterika. Dia cengengesan, memperkenalkan diri.
Saat itu bahkan aku nggak terpikir untuk mengingat namanya siapa. Tapi ternyata, orang random dari antah-berantah yang namanya baru bisa aku hapal sebulan kemudian adalah orang yang paling sulit dilupakan. Orang random tersebutlah yang kemudian paling banyak mengisi inbox ponselku, dan selalu marah-marah kaena katanya pesanku membuat ponselnya kepenuhan. Kalau aku tanya kenapa pesan dariku nggak dihapus, dia cuma bisa diam saja. Orang random tersebut yang kemudian secara rutin menyapa dengan cara melambaikan tangan tepat di depan wajahku. Dia, tanpa sungkan minta mi instan di rumahku dan memakannya begitu saja tanpa dimasak dengan alasan nggak bisa nyalain kompor. Dia akan jadi satu-satunya orang yang pernah meneleponku dan hanya ngomongin rumah kebakaran. Dia orang pertama yang melihatku nangis dan aku usir, aku bentak-bentak, dan aku suruh pulang (dan dia benar pulang ke rumah).
Dia menjadi satu-satunya orang yang pernah berdiri di depan pintu geser rumahku, pukul lima sore, menutup pintu, lalu selang beberapa detik membukanya kembali, hanya untuk melambaikan tangan sambil tersenyum. Aku masih ingat betul segala detail, Bibir kehitaman tanda perokok berat yang melengkung, gigi besar yang berjajar saat sudut bibirnya tertarik ke atas, guratan halus di sekitar wajahnya, alis tebalnya yang terangkat, jaket jeans modis pada jamannya yang sedikit berlubang di sana sini. Suara beratnya, saat ia mengucapkan, "dadah" sambil menggoyangkan tangannya ke kanan dan ke kiri. Beberapa detik mata kami saling menatap, dan ini mungkin terdengar cheesy, tapi waktu seakan berhenti, tepat di momen tersebut. Momen sekarang yang pertama kali aku alami. Momen yang membuatku melupakan masa lalu dan mengabaikan sejenak masa depan.
Dulu, semua orang bilang aku adalah pawangnya. Aku bilang apa, dia nurut. Kalau orang lain yang bilang, tak pernah digubris. Kurasa hanya kebetulan, karena jiwa persuasif cukup dominan padaku. Mungkin juga karena aku mendengarkan setiap keluhan dan keresahan yang ia rasakan. Semua pemikiran absurd dan nyeleneh yang keluar dari kepalanya, aku dengarkan. Seperti ketika aku membujuknya untuk ikut wawancara lansia di sebuah panti jompo. Dia setuju, bahkan ketika aku mengajukan syarat untuk menggunakan pakaian rapi. Dia datang dengan kemeja, namun celananya sobek di lutut.
"Ini tuh kayak Freddy Mercury. Oma-Oma pasti suka sama Freddy Mercury."
Ya, baiklah.
***
Sejak kami bertemu, standar lelakiku berubah menjadi spesifik. Semua harus serba mirip dengan dia. Tidak ada yang boleh lebih rendah darinya. Jago gambar. Jago fisika. Senang olahraga. Anak sulung. Punya adik perempuan. Dekat dengan ayah dan ibu. Sayang adik. Berjiwa pemimpin. Sekarang aku hanya bisa tertawa jika ingat hal tersebut. Ini cari jodoh, atau seleksi beasiswa?
Hingga bertahun-tahun setelah kami mendadak menjauh tanpa alasan yang jelas, aku masih menjadikan dia sebagai acuan baku. Dalam tiap sujud aku bahkan masih berdoa dengan sangat agar ia menjadi bagian dari masa depanku, atau minimal masa depanku seperti dia. Tapi, karena ada ungkapan yang populer diantara aku dan teman-temanku kalau "sebutkan nama dalam doa" adalah sesuatu yang bisa membantu membuka peluang lebih besar, aku selalu membuat doaku menjadi spesifik.
Namun apa boleh buat, setelah sekian lama aku bertahan dan memberikan sebuah ruang hanya untuknya, semua harus berakhir di tahun ini. Tahun dimana dilaksanakan pertunangannya dengan gadis pilihannya. Foto pranikah sudah mulai tersebar. Mungkin untuk keperluan cetak undangan.
Tidak ada alasan lagi, tahun ini adalah tahun terakhir. Walaupun aku selalu bilang semua sudah selesai, beban sudah hilang, dan aku sudah ikhlas, tapi apa sih rasanya, setelah 10 tahun perjuangan, semuanya harus selesai, begitu saja?
Hanya ada memori yang tersisa, dan sepertinya harus aku buang juga, supaya aku bisa memulai cerita baru dengan orang yang baru.
Jadi malam ini, aku membungkus semua kenangan dalam satu kotak dan membakarnya hingga habis tak bersisa.
Selamat tinggal, :)
Teruntuk yang pernah menjadi yang tersayang, E.A, terima kasih memorinya. Selamat menempuh hidup baru :)
0 komentar