"Btw Wi" Sebuah chat masuk ke handphone gue. "Gue putus."
Adalah sebuah kekagetan ketika gue bangun tidur dan mendapati kalimat tersebut terpampang nyata di layar. Putus.
Putus.
Kalau Bleki, begitu gue memanggil si pengirim pesan, mengatakan itu pada gue lima atau sepuluh tahun lalu, gue cuma bakal berkomentar singkat selewat. Bukan hal yang aneh mendengar berita semacam itu, dulu, mengingat cap playboy memang melekat di jidatnya. Putus bukanlah sesuatu yang aneh pada masa itu, walaupun, pada kenyataannya, dia berhasil mempertahankan hubungan dengan pacarnya (dulu) sampai 10 tahun tanpa putus. Tapi, kalau boleh jujur, kalau bisa dicatat, mungkin selusin lebih cewek mewarnai hubungan mereka. Berantem hebat udah bukan hal aneh. Tapi, ada keyakinan jika keadaan akan berubah. Sampai pada akhirnya, alasan lain membuat Bleki dan pacarnya yang dulu putus,
"Putus, putus?" Seakan nggak yakin dengan apa yang gue baca, gue mempertegas.
"Iya." Jawabnya sekali lagi. "Putus."
Gue butuh sekitar setengah jam untuk mandi, beres-beres, dan siap-siap ke kampus sambil menghayati arti kata putus di sini. Dengan pacarnya yang sekarang (sebelum mereka putus, tentu) Bleki sudah tampak mantap dan siap melangkah ke jenjang berikutnya. Sudah sampai cek venue nikahan. Sudah beli cincin. Sudah ngobrol dengan keluarga si perempuan.
"Kalo lo merencanakan pernikahan sama orang yang tidak tepat, lo cuma akan merasa ketakutan dan tidak siap. Tapi, kalau lo merencanakan dengan orang yang tepat, lo cuma akan merasa excited dan ngga sabar." Begitu nasihatnya pada gue di suatu hari ketika gue curhat soal pasangan dan masa depan.
Hampir setengah umur gue lewati sama orang ini. Bukan cuma kenal yang kenal-kenal doang. He always there, through ups and downs. We laugh and cried together. We fight, because we cared and took care of each other. Dan sejujurnya, banyak perubahan signifikan pada dirinya. Setidaknya, dari perkara deket sana sini sama perempuan, jadi nggak lagi. Emosinya jauh lebih stabil.
Lalu, kenapa, di pagi hari bolong dan cerah, ada cerita putus ini, tanpa angin tanpa hujan?
"Intinya gue bikin salah. I'm cheating."
Rasanya, kalo gue ada di depan muka dia saat itu juga, udah pengen gue hujani makian. Tapi, dari cara dia bercerita, gue tahu, kali ini dia hancur. Hancur parah. Di satu sisi gue mau marah, tapi di sisi lain gue kasihan. Tapi ini salah dia, dan menurut gue, kalo gue jadi pacarnya, ya nggak ada jalan lain, gue putusin detik itu juga gue tahu gue diselingkuhin, walaupun dia bilang cuma chat dan sempet jalan aja, nggak lebih dari itu.
Semua dimulai dari satu kata. Cuma. Setelah itu, semuanya akan bergulir, mengarah pada sesuatu yang lebih besar.
Seorang teman pernah bertanya pada gue, apakah ketika kita sudah punya pasangan, kita tidak boleh punya teman lawan jenis? Gue bilang, boleh. Lalu dia bertanya lagi, memangnya, batasan selingkuh itu seperti apa?
Gue bilang, kalau kamu melakukan hal bersama si lawan jenis dan menutupinya dari pasanganmu karena kamu tahu dia bakal marah, atau kalau kamu chat dengan lawan jenis dan kamu hapus atau sembunyikan dari pasanganmu karena kamu tahu dia bakal marah, ya... itu namanya selingkuh sih.
Dan Bleki, kali ini, melakukan itu.
Gue paham mungkin ada kejenuhan. Tapi coba bayangkan, ketika kamu pacaran 4 tahun dan kamu jenuh lalu kamu flirting iseng dengan lawan jenis, apa yang akan kamu lakukan setelah 20 tahun menikah dan jenuh?
Kali ini, gue tidak banyak berkata-kata dalam menanggapi kasus Bleki. Gue lebih memilih menjadi pendengar saja saat ini. Biar dia tenang dulu. Biar dia paham dulu rasanya kehilangan. Biar dia tahu, apa yang akan dia hadapi di masa depan bukan sesuatu yang bisa ditinggalkan ketika jenuh.
"Gue cuma bakal nyerah kalo dia udah nikah sama orang lain. Selama belum, gue nggak peduli berapa umur gue saat itu, gue bakalan nunggu dia terus."
"Oke..." Sampai titik ini, gue nggak bisa bilang apa-apa, selain, "Kalo butuh apa-apa jangan sungkan kontak ya."
"Yes, sure."
Kasus Bleki kali ini cukup jadi pengingat buat gue, yang masih belum bisa berkomitmen penuh pada satu orang, bahwa, ketika sudah menemukan orang yang tepat, ketika sudah yakin, ketika sudah siap lanjut, artinya gue sudah siap untuk meninggalkan hal-hal cuma iseng dan main-main tersebut. Oke, noted, walaupun telat. wkwkwkwkwk.