Naik Kelas
03.21
Menyudahi sebuah hubungan adalah perkara sulit buat gue, yang pada dasarnya selalu punya kecenderungan overly attached. Begitu juga yang terjadi pada tahun ini. Belum lagi, begitu memasuki awal tahun gue punya pikiran untuk settle di tahun ini. Move on seakan hilang dari pilihan. Tapi, ya, apa boleh buat. Untuk apa dipaksakan kalo emang nggak bisa lanjut. Ya, kan?
Sebuah pelajaran, mungkin, memang selama ini gue sama rekan tersebut beda keyakinan. Guenya yakin, dianya engga. Harusnya gue tahu kalo gue cuma halu dan delu ketika berpikir ini akan jadi yang terakhir. Harusnya gue bisa lihat.
Oke. Kemudian, setelah gue memutuskan untuk tidak lagi berusaha mendekat dengan rekan tersebut, gue sempat mengadakan sesi ngobrol-ngobrol santai dengan Reska via telepon. Setelah panjang lebar kami berbagi drama, setidaknya ada beberapa hal yang gue simpulkan.
Pertama, lingkaran setan ini akan terus begini, sampai gue memutuskan untuk mengakhirinya. Gimana caranya, sejujurnya gue masih nggak tahu. Cerita dekat-patah hati-menemukan yang lain-dekat-dst selalu terulang dalam hidup gue, dan sulit diberhentikan. Setiap gue habis gagal, selalu saja gue membesarkan hati dengan, "nanti juga ada lagi". Tapi, mau sampai kapan seperti ini?
Kedua, setelah bertemu dengan yang terakhir kemarin, gue menyadari bahwa, pada akhirnya, gue tahu orang seperti apa yang gue butuhkan. Gue selalu mencari rekan yang sama kerasnya dengan gue. Lebih nggak mau ngalah. Selalu mendebat semua hal dan selalu punya inisiatif. Kalau dia mau A, ya akan A. Kalau gue mau B dan mendebat, gue harus sangat-sangat-sangat punya argumen yang kuat agar A bisa bergeser jadi B secara logis. Kemarin, gue yang lebih banyak mau. Gue yang lebih sering nentuin ini itu. Gue disanjung, dipuja, dan dijunjung. Ditemenin. Dianterin. Disayang. barulah gue sadar, sepertinya orang kayak gini yang gue butuhkan.
Ketiga, walaupun lo tau orang seperti apa yang lo butuhkan, belum tentu dia yang terbaik. Dalam kasus gue, gue memang butuh disayang sebegitunya, seakan gue satu-satunya yang paling berharga di dunia ini. Tapi, apakah itu sehat? Apakah dia nggak kemudian, lama-kelamaan jadi jengah? Atau memang sebaiknya, gue belajar berkompromi, menemukan titik setimbang antara kebutuhan gue dan dia, sehingga tidak ada salah satu dari kami yang merasa terabaikan karena memenuhi kebutuhan yang lainnya?
Selama tujuh bulan gue berusaha mengembalikan hubungan seperti sedia kala, lalu gue sadar, mungkin memang kami toxic bagi satu sama lain. Yang terbaik adalah kami, harus bisa berkompromis agar tidak saling menyakiti, atau sudah sekalian saja, berteman seperti biasa.
Kompromi tersebut yang kemudian, menurut gue, adalah salah satu indikator sebuah hubungan sudah naik kelas.
0 komentar