Tadinya gue berencana ngepost tentang wisuda-wisudaan, Tapi berhubung gue sepertinya orang yang nangis paling heboh dan masih enggak bisa berhenti nangis sampe detik ini, kayaknya lebih baik gue ngepost tentang sesuatu yang sedikit lebih tidak menguras emosi dibanding wisudaan.
Kemarin, waktu wisuda, gue dan seorang teman membahas sesuatu tentang ini dan itu. Dari hasil obrolan, teman gue bilang kalau sebaiknya gue nggak memperjuangkan apa-apa dengan seorang teman karena kesempatan gue buat menang sangat tipis macem rambut dibelah tujuh. Gue cuma manggut-manggut. Berhubung gue orang yang menganut paham setiap orang bebas memberikan hatinya untuk siapapun, maka gue selow ae kalo seorang teman tidak memberikan hati buat gue, walaupun gue memberikan hati buat dia.
Sialnya, disaat-saat genting dan otak gue acak-acakan, mata gue menangkap sesuatu yang subhanallah bikin kaget sampe lutut lemes. Ceritanya gue, Facul, Mela, sama Astryd lagi jalan otw kanopi, lalu tetiba jreng jreng, di sisi kanan jalan ada segerombolan Mas-Mas berkaos merah lagi berdiri bergerombol. Cukup menarik perhatian, tapi gue nggak peduli karena lagi jalan cepet-cepet. Sampai tiba-tiba rasanya kepala gue pengen noleh. Pas noleh.........
Ada yang menundukkan pandangan menatap gue. Satu-dua detik. Kemudian kepalanya kembali diangkat secara tidak alami dan menatap lurus ke belakang gue. Rasanya jantung mau copot, sendi lepas-lepas, badan langsung berasa nggak bertulang. Mau nangis, nggak tau kenapa juga mesti nangis, mau ketawa takut ditangkep satpam, mau jalan enggak kuat, mau diem juga ngapain. Pokoknya serba salah.
"Facuuul..." Gue manggil Facul, sambil suara gemeteran.
"Budeeeew. Kenapa?"
"Itu, ada."
Facul menoleh terbelalak, sama seperti gue. "LAH KOK ADA ITU? DIA PULANG KE BANDUNG?"
Nggak tau, nggak tau. Gue sama sekali nggak berekspektasi dia bakalan dateng wisuda kali ini. Dia kerja di tempat yang jauh. Terakhir kali gue ketemu manusia itu pas dia wisuda, April tahun lalu. Artinya udah 1.5 tahun kita nggak ketemu, tapi demi langit, bumi, dan segala isinya yang dikuasai negara karena merupakan hajat hidup orang banyak, gue bisa bilang kalau apa yang gue rasakan saat itu, nggak ada bedanya sama bertahun-tahun yang lalu.
Kampret.
Walaupun dia nggak lagi membuka pintu geser rumah gue dengan muka malu-malu, melambaikan tangan canggung dengan muka memerah cuma buat bilang "dadah"...
Walaupun kami nggak saling bersandar sore-sore di halaman belakang rumah gue sambil dengan randomnya nempelin stiker di helmnya dan di hape gue.....
Walaupun kemarin gue (dan mungkin dia juga) sama-sama berusaha memanipulasi otak untuk berpikir kalo kami nggak saling melihat....
Gue tetep lemes.
Gue pikir semuanya sudah selesai, dan gue bisa mulai bebenah diri. Sayang sekali, entah karena perfect timing, atau karena dia selalu jadi rumah tempat gue pulang, semuanya gagal melulu.
Tapi santai lah. Untuk sekarang gue cuma mau fokus TA dan bersenang-senang. Mungkin aja ini cuma rasa kangen sebentar yang bakalan ilang dalam satu-dua hari.