Tidak Salah Jalan

06.26

Sejak awal sebelum masuk kuliah, gue sudah jatuh cinta pada konsetrasi Perencanaan Penanggulangan Bencana. Ketika wawancara beasiswa, gue bolak-balik-berantem sama interviewer karena gue keukeuh mau pindah haluan, mengambil prodi lain, banting stir dari tukang/kuli/buruh jadi perencana. 

Gue sadar betul kalo otak gue belum tentu nyampe. Gue yang terbentuk hari ini, isi otak gue, sudut pandang gue, ada karena dipahat selama empat tahun. Jadi tukang aja gak pinter-pinter amat, terus sekarang gue mau nekat jadi perencana gitu? Secara sadar gue tahu betul konsekuensi perpindahan jurusan ini. Dari berpikir tentang struktur, menjadi berpikir nonstruktural. Dari yang melihat sesuatu secara rinci, jadi holistik.

Tapi entah kenapa, setelah gue ikut kuliah Snaitasi Pasca Bencana, dilanjutkan saat gue membaca silabus Perencanaan Penanggulangan Bencana, gue tahu, gue akan menghabiskan masa kini, maasa depan, hingga hari tua sampe hari akhir gue untuk berkonsentrasi pada hal tersebut. Bencana. Hal yang udah jadi makanan gue sehari-hari. Gempa skala 7. Banjir Cileuncang (semata kaki), drainase buruk, kerusuhan dan perusakan fasilitas umum. Sejak gue SD, semuanya ada di sekitar gue.

Dan di sini lah gue, bersama lima orang lainnya. Duduk tiap selasa jam 9-11 siang di ruang seminar. Belajar tentang aspek kebencanaan. Hazard, vulnerability, capacity, risk, sudah jadi makanan sehari-hari. Kami cuma berenam, kadang bertujuh atau berdelapan, kalo-kalo ada yang sit in. Setiap minggu kami selalu punya bahan bahasan, terutama sejak banjir dan longsor garut, banjir Bandung, hingga tadi gempa New Zeland.

Hari ini dosen gue masuk ke dalam kelas, tersenyum, dan ngobrol tentang gempa. Di akhir kuloah, setelah teman gue mengajukan pertanyaan, beliau bilang begini,

"Saya mau beterimakasih pada Anda semua yang mau ambil konsentrasi ini. Tiap tahun memang paling cuma 6-7 orang. Dibandingkan dengan konsentrasi lain, konsentrasi ini memang paling sedikit peminatnya. Tapi mudah-mudahan Anda yang sedikit ini bisa menjadi pengambil keputusan kelak, sehingga Anda punya pandangan tentang investasi kebencanaan dalam perencanaan kota."

Berat ya.

Tapi, selepas kelas, kami, anak-anak yang cuma berenam itu ngerumpi via grup. Kami merasa bersyukur. Beruntung, dikasih kesempatan untuk memilih, dan kami memilih jalan ini. Kami tahu, mungkin jalannya enggak mudah. Iya, aspek kebencanaan seringkali bukan sesuatu yang diprioritaskan dalam perencanaan kota. Tapi kami juga tahu, jalannya emang sudah benar begini kok. 

Gue tahu, jalannya sudah benar.

Btw, dosen gue ini latar belakang S1 nya sipil. Beliau orang struktur. Orang teknik. Tukang insinyur. Sama seperti gue, dulu beliau juga ngurusin itung-itungan struktural. Sesampainya di plano, beliau langsung ngurusin mitigasi non struktural. Beliau adalah cara Tuhan menunjukkan pada gue bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, asal kita mau berusaha sungguh-sungguh. Walaupun semua interviewer gue bilang sulit mengubah sudut pandang, yang ngurusin limbah di dunia ini juga masih kurang banyak, dan hal lain yang mereka katakan ketika ngewawancara gue, semenjak masuk plano dan ambil konsentrasi ini, gue makin yakin, tempat gue udah bener di sini.

Sekarang semua bukan cuma karena ingin tapi karena butuh,

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images