Marco & Rich
07.04Karena bosan terjebak rutinitas hari-hari yang itu-itu aja, bikin capek iya, bikin pinter nggak terlalu, gue sama Nasya mencoba untuk mencari pengalaman dalam banyak hal. Hal apa aja? Macem-macem. Mulai dari ikutan lomba penelitian, belajar IELTS, sampe yang terakhir, ikutan workshop.
Nah, kalo yang terakhir ini, gue sama Nasya agak merasa... terjebak. Sampe ke tahap pas gue cerita ke Mala, di "mampus lo, mampuuusss lo berdua"-in sama Mala.
Jadi ceritanya, pada suatu hari Mas Faizal, salah satu postdoc di tim energi ngabarin ada acara Newton Researcher Link yang diadakan oleh UI. Ya gue share ke Nasya lah ya. Lalu kami daftar. Ternyata diminta buat submit abstrak. Oke, yaudah submit aja. Terus diminta buat presentasi. Yaudah, iyain aja. Denger-denger bakal diseleksi sih, jadi ya udah lah ya gue sama Nasya iseng-iseng berhadiah aja. Diterima syukur, nggak ya udah.
Di hari H pengumpulan abstrak aja, gue sama Nasya masih hah-heh-hoh, nggak tau mau nulis apa, dan baru submit menjelang tengah malam. dasar deadliners memang kami ini.
Ndilalah, kami keterima.
Bingung dong. Tapi yaudah.
Begonya adalah, kami tuh sama-sama nggak ngeh kalo ujung dari kegiatan ini adalah kami dipasangkan sama beberapa peneliti lintas negara dan lintas disiplin buat bikin proposal yang akan diajukan untuk didanai Newton Fund.
Nahloh.
Dan itu beneran baru kami sadari di tengah-tengah workshop.
Gue sempet konsul sama Ambu soal Newton Researcher Link ini, karena tim gue dulu pernah bikin, jauh sebelum gue join tapinya, mungkin sekitar 6 tahun lalu. Nah, kalo waktu itu kata Ambu, nggak sampe segitunya dibimbing sehingga keluar proposal. Ya saling membuka jejaring aja gitu, kenalan-kenalan, tukeran ide. Abis itu mau ditindaklanjuti ya monggo elu pikir aje sendiri.
Nah sekarang mah, gue difasilitasi banget, sampe dapet mentor salah seorang pengajar senior dari UI.
Keseruannya dimulai di sini.
---
Adalah Marco dan Richard, dua orang yang didaulat sekelompok sama gue. Marco, yang mana seorang dosen di Southampton, udah PhD, proaktif banget menstrukturkan ide, dan sangat memfasilitasi diskusi, mungkin jadi alasan kenapa interviewer dan mentor-mentor seneng banget sama hasil presentasi proposal kami di hari terakhir. Belom lagi doi jejaringnya luas banget cuy, sampe kenal orang-orang dari Tadulako dan Unsyiah. (Kebetulan doi ikut proyek tentang tsunami Aceh dan Palu. Keren ya!) Richard, dari Glasgow, ahli banget di modelling dan GIS. Orangnya ramah banget, sampe gue rada kaget ada bule yang mau banget ngobrol basa-basi sama gue, nanya "rumah kamu di mana?" terus dia cari di Gmaps, abis itu dia nanya, "Ada gunung api ya deket situ?", terus nanya, "musim apa di sana sekarang?" Baek bangettt bener. Dengan gue sebagai jelmaan umbi-umbian pelengkap penderita, komplitlah sudah kelompok kami ini.
Gue sesungguhnya merasa... sangat kecil dibandingkan mereka berdua, bukan karena masalah mereka bule dan gue non-bule ya. Tapi karena, gue emang ngerasa nggak bisa apa-apa aja wkwkwk. Tapi begitu ngobrol sama mereka, gue sadar satu hal: nggak semua orang bisa semua hal, dan itu nggak apa-apa. Marco sebagai ketua pengusul proposal dengan jujur berkata kalo dia nggak gitu paham sama GIS karena dia biasa fokus di struktural (latar belakangnya sipil), plus dia nggak terlalu paham juga soal sosial, makanya perlu gue buat melengkapi.
Seneng sih, gue banyak bangettt banget banget belajar, terima kasih buat nyuton. (Setelah tesis pake penelitian Newton Institutional Link dan sebagian besar gaji gue didapat dari dana Newton, sih wkwkwk)
---
Ada satu hal yang bisa gue petik dari kenekatan gue kemarin, yaitu gue bisa. Selama ini gue terlalu lama diem di sini-sini aja, dan mulai berpikir apakah gue bisa senekat, se-keras kepala, se-keukeuh, jaman muda dulu? Apa gue masih punya semangat buat maju sebesar saat umur gue belasan dulu? Apakah gue masih punya jiwa-jiwa ambis yang rasanya berhenti saat gue umur 25?
Jawabannya bisa. Masih.
Aaaaanddd it's good to be back on track.
See you on top!
0 komentar