Seperti gadis remaja pada umumnya, gue sangat ingin menikah agak cepat. Dua empat. Itu angka pertama yang gue patok sebagai tahun gue menikah.
Lalu lewat.
Dua delapan, begitu batin gue. Di saat gue lengah dan desperate, gue malah bertemua orang yang salah, yang menggiling hati gue terus diayak-ayak sampai halus nggak bersisa. Boro-boro kepikir mau mengumpulkan serpih dan remah-nya. Semua disapu angin.
Lalu, saat akan mencapai tiga puluh, gue berpikir, apa memang gue ini nggak layak untuk siapapun ya? Apa memang gue se-nggak pantes itu buat punya pasangan? Apa gue emang harus hidup sendiri?
Menabung sedikit-sedikit, jaga-jaga harus hidup sendiri. Cari-cari referensi teman yang memilih hidup soliter macem game di komputer jadul yang suka dimaenin Bapak-Bapak pi en ice. Cuma mikirin diri sendiri. Mikirin papa juga yang lagi sakit. Melihat kakak-kakak sibuk dengan keluarganya masing-masing.
Gue harus bisa bertahan walopun cuma sendiri. Gue nggak boleh repotin mereka.
Lalu tiga puluh... lewat dua minggu tepat.
Hari itu senin. Papa baru beres cek di RSHS. Gue kebetulan ada janji dengan dokter gigi jam 14.00. Begonya, gue salah lihat jadwal. Gue beres dari RSHS jam 12, lalu sampai tempat praktik dokter Widi jam 13 tepat.
Duduklah gue di ruang tunggu, lalu memulai obrolan dengan seorang yang baru gue kenal hari itu.
Orang yang selalu meyakinkan kalau, semua akan baik-baik saja.
Orang yang, setelah bertemu dengannya, semua kesulitan di masa lalu jadi masuk akal. Kayak, oh, gue dipersiapkan buat sesuatu yang baik, nih. Oh, ternyata dulu gue nggak jadi sama yang itu karena gue akan dipertemukan dengan ini yang oke nih.
Gue selalu bilang, ada satu ruang kosong di hati gue yang tidak akan pernah bisa terutup oleh cinta sebesar apapun, karena lubang tak kasat mata yang diciptakan satu orang, 15 tahun silam.
Tapi begitu bertemu beliau yang satu ini, ruang kosong yang selalu muncul di hubungan-hubungan sebelumnya walaupun sekelebat, sama sekali terlupakan.
Gue nggak bisa menjamin hari esok, lusa, atau bertahun ke depan semua akan tetap mulus dan indah, tapi gue bisa jamin, jika memang kami diberi kesempatan untuk berjalan beriringan seumur hidup, maka, jalan sesusah apapun akan kami lalui bersama.
Kami tidak sempurna, tapi kami berjanji untuk sama-sama belajar.
Belajar menjadi kita.
Mudah-mudahan Tuhan selalu berikan jalan.
Love,
Dewi dan Yogi