Event Mozaik Blog Competition sponsored by beon.co.id
Entah dari mana mulainya, yang jelas sedari kecil gue seneng banget nulis.
Kata nyokap gue, waktu kecil gue seneng banget main sendirian. Sejenis punya teman khayalan, mungkin. Duduk di pojokan kamar sambil bawa boneka, guling, bantal, dan peralatan bermain lainnya. Kemudian gue jejerin satu-persatu. Habis itu gue mulai menyusun cerita. Si bantal main ke rumah si guling. Si boneka adalah kakak dari si bantal. Mereka main masak-masakan. Gue ngomong sendiri. Nyusun cerita sendiri. Kemudian gue tulis sendiri. Seandainya saat itu umur gue 20 tahun, orang yang melihat gue akan buru-buru menelpon rumah sakit jiwa. Untungnya, usia gue baru 4-5 tahunan. Gue diselamatkan umur.
Masih menurut nyokap gue, kayaknya waktu itu, dengan posisi gue yang bungsu, umur berjarak jauh dengan kakak-kakak gue, dan tinggal berpisah dari mereka, membuat gue nggak punya teman bermain. Jadilah gue kesepian. Main sendiri. Menciptakan tokoh-tokoh khayalan gue. Menciptakan dunia sendiri. Menciptakan cerita sendiri.
Saat masuk SD, gue makin hobi menulis. Mulai dari nulis cerita buat tugas yang temanya "liburan" sampai nulis cerita konyol di sebuah buku tulis tipis bareng beberapa orang teman gue. Buku tersebut kemudian kami beri nama MKTH. Majalah Kecil Tanpa Halaman, karena bentuknya kecil, dan saking malesnya ngasih halaman, ya... nggak ada halamannya.
MKTH waktu itu berisi tips nyentrik merawat ikan hias di toples plus sebuah lirik lagu ciptaan teman-teman gue yang berjudul "Te-o". Liriknya nggak jelas, dan cara menyanyikannya pun harus pakai gerakan. Nggak usah tanya gimana gerakannya. Sudah pasti nggak jelas. Dalam MKTH, gue bertugas membuat cerpen. Maka gue pun mengusulkan cerpen tentang petualangan. Panjangnya mungkin sekitar 10 halaman buku tulis.
Untuk ukuran anak-anak SD waktu itu, imajinasi gue mungkin tergolong liar. Gue membuat dua buah cerita petualangan. Petualangan di hutan Amazon dan petualangan di Himalaya. Saking liar dan ngaconya gue waktu itu, gue sampai membuat deskripsi peta perjalanan ke kedua tempat tersebut dengan bermodalkan peta dunia yang ada di buku agenda bokap gue. Parahnya lagi, waktu itu gue menceritakan kalau perjalanan dalam petualangan-petualangan tersebut dilakukan dengan naik perahu dayung dan caravan, dari Bali ke tempat tujuan. Di tempat tujuan, yang notabene daerah terpencil entah dari mana, gue ceritakan ada lapagan golf. Ada hotel. Ada ular baik hati. Ada Ibu-Ibu jualan pecel lele. Ada pendaki gunung berpenyakit panu kambuhan.
Ajaib banget kan imajinasi gue saat SD?
Makin lama, gue makin keranjingan nulis. Ketagihan. Seakan-akan kalo nggak nulis sehari, badan gue sakit-sakit. Tulisan pertama gue mungkin cuma satu-dua baris coretan yang entah apa isinya. Berkembang jadi separagraf. Kemudian sehalaman. Kemudian satu lembar. Terus, makin lama makin banyak. Waktu SMP, pas lagi produktif-produktifnya, dan baru pertama kalinya punya PC, gue bisa bikin 2-3 cerpen dalam dua hari.
Semakin hari, nulis bukan cuma jadi hobi. Nulis lebih menjadi kebutuhan.
Kebutuhan apa? Tentu saja kebutuhan untuk mengekspresikan sesuatu. Mengeskpresikan emosi. Mengekspresikan ide-ide aneh dalam kepala gue.
Lalu, kebutuhan mengekspresikan sesuatu tersebut bertambah, menjadi kebutuhan untuk mengesankan dan memuaskan orang lain dengan tulisan gue.
Makin tambah usia, gue makin seneng baca majalah. Lagi termotivasi banget buat jadi terkenal dan bangga karena namanya masuk majalah. Pada saat itu lagi jaman-jamannya gue berjuang berkali-kali membuat cerpen dan mengirimkan ke majalah, mulai dari majalah anak-anak sampai majalah ABG paling ngetop. Gue pengen orang-orang terpukau sama karya gue. Apapun yang terjadi.
Menang?
Nggak pernah.
Beberapa orang bilang gue nggak hoki. Mungkin.
Tapi coba kita lihat, mungkin ada yang salah.
Tiap kali gue berusaha terlalu keras untuk menuliskan sesuatu yang berbobot, hasilnya selalu gagal. Selalu ada yang kurang. Selalu gue nggak puas. Selalu gue merasa jelek. Selalu gue khawatir orang akan nggak puas dengan tulisan gue. Selalu gue takut ekspektasi orang akan apa yang akan gue tuliskan terlalu tinggi, sampai gue nggak nggak bisa lagi memenuhi standar "bagus" menurut mereka.
Terlalu banyak yang gue khawatirkan sehingga tulisan gue nggak ngalir. Secara nggak sadar, kebutuhan untuk berekspresi gue luntur, digantikan dengan kebutuhan untuk mengesankan orang lain. Tulisan gue jadi hambar. Tulisan yang tadinya ditujukan untuk menginspirasi orang malah jadi kurang nampol. Menulis berubah menjadi beban, bukan menjadi pelampiasan.
Sejak muncul kesadaran itulah, gue kembali bertanya pada diri gue sendiri.
"Apa sih sebenarnya tujuan utama gue nulis?"
Gue yang hanya punya sedikit teman bermain. Gue yang selalu senang dengan orang yang bisa menceritakan pengalaman menarik mereka. Gue yang punya banyak ide bodoh, konyol, aneh, dan tolol dalam kepala gue, menunggu untuk dikeluarkan dalam bentuk sedetail dan senyata mungkin sampai semua orang bisa membayangkan wujudnya.
Gue butuh menulis sebagai media bereskpresi. Seharusnya gue menulis karena gue mau. Karena gue butuh bereskpresi. Write to express, not to impress.
Mulai dari situ, karena dorongan dari diri sendiri dan juga teman-teman yang suka kepo blog (dan baca beberapa cerpen atau novelet gue) gue jadi makin senang nulis. Bermain dengan kata-kata. Menciptakan dunia gue sendiri dan mengajak orang-orang untuk menjajaki isi kepala gue. Tiap kali menulis, gue seperti tengah liburan. Seperti sedang bersenang-senang. Menulis sangat baik untuk jiwa gue. Satu-satunya yang harus gue bikin terkesan oleh tulisan gue, adalah gue sendiri. Biarlah orang berkata apa, yang penting gue bahagia.
Sampai pada satu titik gue berkata pada diri gue sendiri. Mau jadi apapun gue nanti ; engineer, ibu rumah tangga, pegawai bank, manager, desainer, layouter, dosen, artis sinetron, penyanyi, violinist... sepertinya cuma ada satu hal yang pasti.
Gue nggak akan pernah berhenti membagikan isi otak gue pada khalayak ramai lewat tulisan.