Kita Ramai-Ramai Pergi Ke Transtudio

04.45

Berawal dari post-an Ismi tentang promo diskon 50% bagi orang-orang ber-KTP Bandung, gue, Maha, Yara, dan Windi lalu tertarik buat menyambangi Transtudio. Tadinya akan pergi hari rabu seminggu setelah wisuda, Namun apa daya karena gue sakit entah apa jadinya perjalanan dituda seminggu. H-1 ternyata Yara mengabari kalau doi harus medcheck sehigga akhirnya bersisa gue, Windi, dan Maha, pejuang Transtudio yang masih bertahan (baca : keukeuh) main ke sana.

Kami bertiga janjian jam 10 pagi di Transtudio. Maka gue yang janjian sama Faza buat ngasih hadiah ke orang TU merencanakan ketemu di kampus jam 9 pagi. Dasar Facul, jam 9 nya palsu, kayak cinta gebetan yang suka PHP doi baru dateng jam setengah 10 lewat. Jadilah Windi yang udah keburu OTW (dan rumahnya deket sana, maaf ya Windi T.T) terjebak nongkrong di Coffee Bean selama sejam sampai akhirnya Maha datang. (dan gue masih tetep di jalan)

Jam sebelas kurang gue sampai, daaaaan masuklah kami bertiga ke dalam Transtudio!!!

Kedengeran le backsound yang suka ada di film-film Paramount Picture.

Wahana pertama yang kami datangi adalah 4DX. Konon katanya Facul wahana ini begitu cihuy, jadi harus dicoba. Antrenya bok lumayan banget. Kami menghabiskan waktu sekitar 20 menit buat berdiri ngantre bareng anak SD yang lagi liburan sampai akhirnya kebagian giliran buat masuk. Dengan sangat pinternya gue sama Windi pake kacamata dan bukannya lensa kontak, meyebabkan sepanjang film kami harus terus-terusan benerin letak kacamata 4D-nya. Overall wahana ini cukup seru dan asyik, namun sayang sekali kurang berasa 4D nya karena nggak ada yang nyemprot-nyemprot. Beda sama 4DX BCL yang ada air nyemprot dari pinggir, membuat wahananya kerasa begitu nyata.

Selanjutnya, kami sok-sokan ngantri di Dunia Lain. Sesungguhnya gue nggak pernah mau masuk ke rumah hantu manapun. Tapi kalo diliat-liat sih kayaknya enggak serem sama sekali. Cuma suram doang wujudnya dari depan. Tampilannya cukup ramah lah buat orang yang penakut macem gue.

Emang dasar bener kata pepatah don't judge a book by its kolor cover. Jangan menilai sesuatu dari tampilan luarnya saja. Begitu masuk ke dalam goa-goa-an wahana Dunia Lain, bulu kuduk gue mulai berdiri. Mungkin kalau mereka adalah manusia, mereka pasti udah cabut dan berlari ke luar Transtudio, bukan cuma berdiri doang. Suasananya cukup serem, sejenis kalau ada yang nepok gue dari belakang gue bisa menjerit minta tolong ke arah kamera lalu pingsan. 

Itu belom keliling wahana lho ya, baru ngantri masuknya doang. Mana dingin banget di dalem sono, serasa ada lima biji kulkas rusak dibuka bersamaan di sekeliling gue. Untungnya yang antri banyak banget jadi gue merasa sedikit tenang.

Tibalah giliran kami naik kereta-keretaan untuk keliling wahana. Untungnya saking penuhnya jarak antar kereta deketan. Entah kenapa sebelum memulai perjalanan dengan sangat iseng gue memakai kerudung gue sebagai cadar.

Seriously have no idea what I'm doing.

Karena kami bertiga dan isi kereta diperuntukkan bagi empat orang, maka harus ada yang duduk sendiri. Pilihan jatuh kepadaaaaa WINDI. Ya mungkin karena doi emang yang paling berani. Kalo gue jadi Windi kayaknya gue udah jerit-jerit gila. Sepanjang perjalana isinya Windi berdoa dan gue pelukan sama Maha. Super-Nggak-Jelas. Sesekali Windi geser kanan-kiri karena khawatir ada setan numpang ikut sampe pintu keluar. Bahkan kursi di sampinga diisi tas. Diantara kami bertiga yang menikmati whana dalam kesadaran penuh hanya Windi. Lebih tepatnya waspada sih. Kalo ada setan belah kanan, dia geser ke kiri. Kalo setannya belah kiri, doi geser belah kanan. Sampai ada satu titik tiba-tiba tanpa disangka-sangka ada sesuatu yang turun dari atas (utungnya pas kereta kami udah lebih maju dibading benda yang turun tersebut) daaaan kami bertiga menjerit histeris... tanpa ada yang tahu ada apaan barusan.

Untungnya karena antean yang makin membludak, sepertinya kereta kami jalan cuma bentar. Nggak lama kemudian udah sampe di ujung lorong lagi. Gue menarik napas lega. Untung kagak jantungan di dalem. Untung juga kagak ada manusia jadi setan di dalem. Untung. Banget.

Next, kami naik Jelajah. (Apa Jejak Petualang ya? Lupa gue namanya) Intinya sih ini Niagara-gara versi Transtudio. Awalnya kami mikir nggak akan naik itu karena akan basah. Tapi geliat orang pada naek, sepertinya nggak sebasah dugaan kami.

Kembali, ditipu oleh ekspektasi.

Satu perahu diisi maksimal oleh enam orang. Karena (lagi-lagi) jumlah kami ganjil, Windi dan Maha duduk depan, gue duduk tengah, dan belakang gue ada sepasag suami-istri berumur sekitar 40-50 tahunan yang kemungkinan sedang hanimun kedua. Abisan cuma berdua jalannya :p

Setelah satu putaran perahu ngiterin sungai-sungaian, tibalah saatnya dia naik dan meluncur dari tanjakan. Baru gue mau teriak, eh perahunya udah sampe bawah. Pendek ternyata jalurnya. kaga basah pula.

"EH INI PENDEK YAK." Maha celingukan. Gue sama Windi juga. Bapak-Ibu belakang gue ikutan.

"EH BELOM COY MASIH SATU PUTERAN LAGI" Kata maha, yang kemudian membuat kami berlima sadar kalau ada turunan ekstrem super yang betuknya macem piramid menanti kami di depan sana.

Daaaaannn pas melucurrrr.... BASAH sodara-sodara.

Maha dan Windi, juga pasutri di belakang gue masing-masing cuma basah di salah satu bagian badan aja. Lantaran gue duduk SENDIRI, terpaksa gue menikmati indahnya kecipratan dari dua sisi. Celana gue berubah warna dari krem jadi coklat lantaran basah. Pas kami meuju pintu keluar ada sejeis mesin pengering yang bentuknya mirip tempat buat photobox. Kami tinggal bayar 30 ribu, bisa masuk rame-rame, dan keluarlah hawa panas beserta angin-angin anget dari segala penjuru.mesin. Kami mirip baju dalam mesin cuci yang lagi dikeringin. Seorang adek-adek takjub dan ngeliatin kami dari luar sampe diajak masuk sama Windi. Tapi si adek memilih kabur daripada digoda Tante-Tante yang nemplok nyari kehangatan. (?)

Selajutnya kami naik sejenis gondola yang bentuknya kayak balon udara. Sayang cahayanya gak bagus (atau kamera hape gue aja yang gak cihuy......) jadi pas foto-foto gelap deh. 

Maha dan Windi kemudian naik sesuatu seperti histeria-nya Dufan, dilanjutkan roller coaster. Gue sudah berkomitmen dari awal nggak bakalan naek yang ekstrem-ekstrem macem gitu biarpun dibayar ratusan juta sekalipun. Nggak deh makasih. Gue udah pensiun dari adrenalin junkie yang segala macem dicoba. Emang umur mah kagak nipu sih ya. Beres mereka naik roller coaster yang membuat kerudung maha terbang dan mungkin nyaris membuat dia turun tak berhijab, gue cus sholat. Karena cuma gue yang sholat (dan cuma gue yang kagak mau aik yang ekstrem-ekstrem) jadi selama gue sholat mereka ngantri naik vertigo (kicir-kicir).

Kelar sholat dan pipis (yang antreannya kayak antrean sembako cinta) gue menemui mereka berdua yang sudah berwajah lemah lesu lunglai. Mungkin karena udah setengah dua dan belom makan, trus mereka habis naik tiga wahana ekstrem langsung tanpa jeda. Akhirnya untuk pendinginan kami memutuskan naik Dunlop Car Racing. Antreannya lebih dari setengah jam, karena cuma ada dua lajur dan kecepatan mobil bergantung penuh pada kecepatan sopirnya. Kami berebutan antrian sama anak SD terong-terongan dari luar kota yang nggak sabar ngantre sampe memelas pinjem VIP pass ke tiap orang yang lewat jalur VIP.

Tibalah giliran kami naik mobil. Windi sendirian (karena dia udah ekspert nyetir kami biarkan dia sendiri) sementara gue dengan Maha. Karena udah males mikir Maha nggak mau nyetir, jadilah gue yang nyetir. Gue lupa kapan terakhir pegang setir. Kayaknya 4 tahun yang lalu. Itu juga cuma mindahin mobil dari garasi luar ke garasi dalem yang artinya cuma majuin doang.

"Mbak, tasnya taro depan aja. Kalo dipangku nanti disangka mau mudik." Kata Abang-Abang operatornya. Gue pun nitipin tas ransel gue di bawah kaki Maha.

"Saya mah kabur dari rumah Mas, bukan mudik." Kata gue kalem, malah nanggepin Abang-Abangnya.

Kesulitan pertama yang gue hadapi adalah : "ini injekan yang di bawah fungsinya apa? Yang seharusnya sudah bisa gue pastikan kalau itu rem sama gas. Sesungguhnya remnya nggak begitu berguna sih. Kesulitan kedua adalah mobilnya kecil bener sampe lutut gue nabrak setir. Jadi selama nyetir gue nyaris bawa mobil dalam posisi hampir sila. Kesulitan ketiga tentu saja membuat mobil stay pada jalurnya. Awal-awal nyetir gue selalu telat mbelokin mobil di tikungan, menyebabkan gue sama Maha terpental naik turun di jok kayak lagi offroad. Lama-lama setelah mendapatkan feel-nya akhirnya gue bisa menyetir dengan agak ramah penumpang, walaupun dengan kecepatannya bagai jalannya keong yang salah tidur. Lamban maksimal.

"Mah maaf ya aku nyetir lama bener." Kata gue.

"Nggak apa-apa Madew aku menikmati kok santai begini."

AKhirnya gue tetep bawa mobil pelan-pelan sampai akhirnya maha yolek.

"Madew belakang kita udah antre," Oke ternyata gue meciptakan atrean di lajur lantara nyetir pelan banget. Yowes, tancap gas. 

Seberesnya naik Car Racing, kami menuju wahana yang paling ditunggu yaituuuuuu, wahana RETORAN.

Tunggu, ini bukan wahana. Ya pokoknya intinya sih kami makan dengan tenang, habis itu pulang jam 4 sore karena gue harus siap-siap untuk pergi keesokan harinya.

Secara keseluruhan, gue sangat menikmati jalan-jalan ke Transtudio, walaupun sangat disayangkan nggak ada bianglala. Sebagai orang yang punya cita-cita dilamar di bianglala terobsesi naik bianglala seharian, gue agak kecewa. Tapi dipikir-pikir, kalo ada pun mau ditaro di mana. Susah banget muternya. Dari skala 1-10 gue bisa ngasih 7.5 ke taman bermain ini. Lain waktu gue akan kesini lagi dan dateng ke pusat sains serta pameran-pameran menarik.

Oh iya, ada satu wahana yang nggak kami coba karena disangka buat anak kecil. Wahana panjat tebing. Ternyata kata Faza itu bisa buat orang dewasa. Lain waktu akan kesana pokoknya.

Cheers!

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images