Lost In Depok City (Bagian 2) : Walau Harus Menunggu (Tapi Ya Enggak) Empat Jam Lamanya (Juga Kali)
21.31
Mobil travel yang kami naiki cukup pas-pasan untuk komposisi duduk 2-3-4-4. Dua orang samping supir, tiga orang di belakangnya, dan seterusnya. Gue sama Faza kebagian kursi paling belakang dan nyaris jadi dendeng manusia selama perjalanan.
"Nanti kasih tau ya Pak harus turun di mana." Di tengah perjalanan Mbak depan gue ngobrol sama bapak yang duduk di depannya.
"Iya Mbak, nanti saya bilangin ke Pak Supir minta turunin di Tanjung Barat. Dari sana mah kendaraan banyak."
Mendengar nama Tanjung Barat disebut, gue nyolek-nyolek Faza. Berdasarkan hasil tanya sana sini, gue mendapatkan info kalo untuk mencapai UI Depok bisa lewat Tanjung Barat naik commuter line sampai ke Stasiun UI. Gue cuma manggut-manggut doang habis dikasih tahu jalan begitu. Bukan manggut ngerti, tapi manggut nggak ngerti. Habisnya gue sama sekali nggak pernah ke Depok sendirian tanpa orang tua. Satu-satunya trip mendekati Depok yang pernah gue lalui adalah ketika bergaul di Cinere Mall sama Tio setahun yang lalu. Dari sana gue cuma bisa melihat ada tulisan "SELAMAT DATANG DI KOTA DEPOK" segede gaban terpampang dengan indah.
"Mau ke mana emang Mbak?" Bapak tersebut kembali ngobrol sama Mbak depan gue.
"Ke UI Pak."
"Cul, Cul." Gue kembali menyenggol Faza. "Ke UI doi cul."
"Iya entar ajak bareng aja weh." Kata Faza.
Dua setengah jam kemudian kami sampai di depan Stasiun Tanjung Barat. Jalanan lumayan ramai lancar, tersendat tapi tetap jalan sedikit-sedikit. Begitu turun dari mobil dan menginjakkan kaki di Tanjung Barat, gue dan Faza saling menatap dengan mata berseri-seri.
"Sampe Cul, Sampe." Kata gue, mulai hiperbola.
"Iya Budew. Sampe. Asiiik." Faza ikutan kegirangan.
Permasalahan baru dimulai ketika mobil travel pergi dan kami.... nggak tahu harus kemana.
"Cul ini setasiunnya mana ya?"
Sebagai masyarakat Bandung yang seumur hidupnya melihat stasiun dalam wujud tempat pemberhentian besar yang ada parkiran dan gerbang super megah (even untuk stasiun kecil) jelas gue agak bingung dengan bentuk stasiun commuter yang terlihat seperti perlintasan kereta biasa bagi gue. Mbak-Mbak yang satu travel bareng kami memutuskan naik angkot sebelum kami sempat ngajak dia naik kereta bareng, jadilah gue dan Faza naik, nyebrang lewat jembatan dan mendatangi loket.
Seorang Mas-Mas petugas melayani kami, memberikan dua buah kartu untuk naik commuter. Harga awalnya 10 ribu, tapi harga tiap trip dari stasiun ke stasiun rata-rata 2 ribu rupiah. Lumayan. Kami lalu naik commuter ke Stasiun UI. Mungkin karena lagi nggak rush hour, kondisi dalam kereta sungguh menyenangkan.
Selpi di Kereta
Begitu sampai di Stasiun UI, kami begitu takjub. Beneran takjub ada kampus punya stasiun kereta. Bagus bener liat kampus orang gede dan hijau. Kampus tetangga emang selalu lebih hijau dari kampus sendiri bukan cuma sekedar pepatah. Ini beneran. Nyata.
Nggak lama datanglah bis kuning yang begitu hits. Semua orang di halte berdiri dan berebut naik. Gue sama Faza ikutan desak-desakan. Biar kerasa berjuang. Padahal mah bisnya juga kosong. Sampai terlihat plang Fakultas Teknik, kami turun.
Now what?
Habis turun di halte FTUI, gue sama Faza cuma bengong ngeliat pemandangan yang terhampar di depan kami. Area yang sangat luas, hijau, bangunannya asri dan bagus.
"Ini mah segede kampus kita." Celetuk Faza.
"Yaiyalah Cul jangan dibandingin."
Kami lalu melihat-lihat peta wilayah FTUI yang terpampang di dekat jalur teduh. Lantaran belum sempet ngeprint CV, surat lamaran, dan fotokopi KTP di Bandung, gue dan Faza berencana melakukan kesemua hal tersebut di UI.
Emang keliatan kagak niat ya dua manusia ini. Setengah dari kelengkapan berkas belum dilengkapi................................................
Pertama kami cari fotokopian. Muter sana-sini sampe nanya sama Ibu Kantin, akhirnya ketemu. Terus pas nyari tempat ngeprint, ternyata dengan sangat dodolnya kami udah ngelewatin tempat ngeprint itu berkali-kali.
Backsound : Betapaaa malang nasibkuuuuuu...
Ah tapi sudahlah, itung-itung jalan-jalan. Pokoknya gue sama Faza menyusun rencana singkat kujungan kami ke UI. Kira-kira begini alurnya :
Datang --> ngeprint --> balikin form --> keliling UI --> makan di mall --> pulang jam 2-3 sore.
Tapi semua rencana kami pupus pas masuk ke gedung tempat balikin formulir, karena........ antriannya udah kayak ular naga. Panjangnya bukan kepalang. Gue sama Faza cuma melongo cengo. Baru jam sebelas pagi, antrian udah belok sana sini kayak jalan protokol senin pagi. Setelah ngisi formulir pendaftaran (gue isi dua karena Lika nitipin berkas dia. Maklum, pegawai kantoran kagak bisa ijin ngantor.) kami ikutan ngantri. Bener aja ada Mbak-Mbak yang satu travel sama kami di sana. Tapi doi dateng belakangan. Naik commuter ternyata lebih cepat dan lebih praktis ya dari naik angkutan lain. Terima kasih commuter!
Ngomong ala iklan klinik Tong Tong.
Sialnya lagi jam 12 teng teng teng loket pedaftaran ditutup, menyisakan antrian sembako sepanjang dua ratus kilometer yang tercipta bertambah panjang. Loket baru akan dibuka kembali jam setengah dua. Mbak-Mbak yang nerima pendaftarannya menganjurkan kami untuk makan, sholat, dan istirahat dulu karena ada waktu nganggur satu setengah jam. Ya tapi mana ada sih yang mau merelakan tempatnya diserobot orang lain yang sabar nangkring mantengin loket buka? Akhirnya kebanyakan dari para pelamar istirahat shift-shifat sama temannya.
Lalu apa yang gue sama Faza lakukan?
Duduk. Di lantai. Sambil makan wafer. Dan yuppi. Gue bahkan sempet main Battle Cats beberapa ronde. Sangat produktif.
Begitu antrian dibuka semua orang kayak kucing lagi ngejar tikus. Bangun dan siaga. Kirain kami yang udah sekitar 5 meter dari kepala antrian akan segera dapat giliran setengah jam kemudian. BORO-BORO. Gue sama Faza baru beres ngembaliin berkas dan verifikasi jam... setengah empat sore.... Ya ampun kami ngantri di sono empat setengah jam sajaaaa.
Ternyata, usut punya usut Mbak yang melayani pegembalian berkas cuma ada dua orang. Kasihan banget, udah lesu, lemah, lunglai, dan muak liat manusia, Gue aja liat antrian udah eneg gimana mereka berdua ya. Semangat terus Mbak!
Akhirnya, setelah beres berkutat dengan berkas dan perintilannya, gue sama Faza keluar dari gedung sambil gemeteran. Kelaparan. Karena nampaknya udah nggak akan keburu ngejar travel setengah 6, kami memutuskan untuk naik travel Baraya jam 6 sore, dari Tanjung Barat.
Tapi sebelumnya tentu saja, hal pertama yang kami cari adalah makanan.
0 komentar