Semua dimulai dari sebuah obrolan simpel semalam.
"Kamu favoritku. Tapi kamunya biasa aja ke aku."
"Habis kamunya nggak pernah serius."
Secara pribadi gue udah berpikir kalo, baiknya memang tidak terburu-buru untuk mengambil keputusan settle, mengingat trauma berkepanjangan yang masih gue rasakan sisa dari tahun kemarin (dan tahun-tahun sebelumnya). Belum siap, mungkin itu kata yang tepat buat menggambarkan kondisi gue.
Komunikasi kami on-off kayak saklar lampu. Kadang nyala, kadang ngga. Kalo dia lagi mepet terus jangan kasih kendor, gue biasanya bertingkah defensif. Takut. Takut cuma gue yang merasa kalau ini adalah salah satu ilusi bagian kesekian, yang ujung-ujungnya nggak akan kejadian.
Tapi seminggu terakhir, intensitas ngobrol meningkat. Gue mulai khawatir. Lampu kuning nih. Jangan. Sampai. Terjebak.
Lalu datanglah obrolan semalam.
"Kata siapa aku ngga serius? Tuh kan... udah gini aja."
Tak disangka, kami malah terlibat obrolan yang... menenangkan.
"Buatku, kamu yang paling tulus ke aku, dan aku tau, sampah banget aku ngomong ini sekarang: kamu yang paling ideal."
Lalu kami berdiskusi sebagai dua orang dewasa, sebagai teman.
"Kamu tau, aku sayang sama kamu. Tapi aku menahan diri untuk maju karena aku tau, masih ada perkara kamu yang belum selesai dan itu akan membuatku nggak nyaman. Aku juga masih rada trauma sih ama taun kemarin, jadi maaf kalo terkesan ngga jelas, atau nggak serius."
Kami menutup obrolan dengan, ya sudah, temenan saja lah, mungkin ini jalan paling bagus. Bukan karena nggak sayang, tapi karena terlalu sayang sampai takut saling menyakiti.
Aneh sekali ya dunia orang dewasa ini.
-------
Semalam, obrolan ini datang kembali, dan dia bilang begini:
"Aku menerima fakta bahwa kamu adalah teman yang baik. Kamu sangat mirip dengan yang dulu, 90%. Itulah kenapa aku nyaman sama kamu. Tapi aku nggak bisa bandingin kamu dengan yang dulu, karena itu, jahat sekali."
Iya, memang, kata gue, ngegas sambil ngakak.
"Boleh jujur?"
"Ya masa engga boleh"
"I like you. A lot. Tapi karena masih ada perkaramu yang belum beres, aku bisa apa? Aku sayang kamu, tapi aku lebih sayang diriku sendiri. Begitulah. Misal, misal ni, pada suatu hari kita akhirnya bersama. Lalu datang orang dari masa laluku. Aku akan menolak dia, karena aku berkomitmen denganmu." Gue menarik napas sebentar, lalu,
"Apakah kalo posisinya dibalik, kamu sanggup melakukan hal yang sama?"
Kenapa rasanya kayak... gue lagi baca percakapan di novel cinta kalo begini ceritanya ya.
"Analogi yang menarik." Komentarnya. "Kalo aku menyentuh boiling point-ku, aku akan tegas dan melupakan yang dulu. Tapi sampai saat ini, belum sampai di tahap aku bisa memulai yang baru. Entah kapan."
"Ya, waktu yang dibutuhkan berbeda-beda." Ngahuleng dikit, throwback lah gue ke 14 tahun yang lalu bersama Abeng. "Take your time. Jangan memaksakan memulai yang baru. Jangan projecting your own insecurity to your partner. You'll end up hurting yourself, and her, too."
-------
Having someone you could open up to and being vulnerable is precious. His response towards your feeling, how he expresses his love, frustration, sadness, and anger without making both of you bleeding too much without conclusion... it's a rarity.
I'm so grateful to meet you; I really am. I learned a lot, simply. Not in a hard way like I used to.
I don't know what the future holds, but let's headed to the best direction universe leads me and you, either it's the same way or separated way.
Cheers!