Diskusi, pada suatu hari
18.13
Harus gue akui dengan penyesalan yag mendalam, beberapa kejadian buruk membuat gue berubah secara personal. Ada perubahan positif seperti sudut pandang yang semakin luas, gue menjadi lebih sabar dan mengotrol emosi, gue jadi bisa baik ke semua orang, gue bisa berpikir positif lebih sering, gue lebih waspada, nggak gampang percaya orang, dan gue lebih ikhlas. Disamping itu, nggak bisa dipungkiri kalo ada hal-hal negatif yang jadi buntut di sana sini. Sebenernya secara langsung kepribadian gue nggak berubah, tapi hal-hal negatif ini mempengaruhi pegambilan keputusan gue, terutama yang menyangkut perasaan.
Ngomong-ngomong soal perassan, kemarin sore gue ngobrol santai sama Ismi sambil nunggu arak-arakan mulai. Topikya nggak jauh-jauh, cuma tentang bagaimana bersikap pada satu orang.
"Jadi gimana kamu teh sama dia?" Tanya Ismi. Awalnya gue cuma ketawa-ketawa garing. Sisanya muka gue berubah jadi sendu. Entah karena capek, kehujanan, atau emang gue punya bakat jadi tokoh utama sinetron yang kerjanya disiksa tokoh antagonis.
"Ya gitu weh. Jadi canggung. Awkward."
"Siapanya? Dianya? Apa kamunya?"
Seperti biasa jiwa kepo Ismi yang mugkin menular dari gue keluar secara membabi buta. Semua dikorek.
"Dua-duanya kayaknya. Tapi ya Mi, Sikap aku ke dia itu tergantung sikap dia ke aku."
"Oooh. Iya ngerti." Ismi manggut-manggut.
"Tapi aku udah nggak ragu Mi. Aku tau harus jawab apa kalo ditanya."
"Kalo ditaya orang-orang?"
"Iya. Tapi aku nggak akan jawab kecuali dia yang nanya serius."
Kembali ke beberapa hari sebelum kemarin, gue masih bingung dan tidak bisa menemukan apa yang terjadi, apa yag gue rasakan, dan kebingungan-kebingugan lain yang nggak jelas. Tapi kemarin, gue tau semuanya dengan sangat jelas. Apa yang gue rasakan sebenernya sudah ada di sana jauh sebelum kemarin, menunggu untuk disadari dan diyakini.
"Emang apa jawabannya?"
"Kepo ah. Gaboleh tau. Takutnya jawaba aku sama dia beda kan nggak enak."
Kami kemudian berjalan dan ngobrol ini itu. Seharusnya mungkin Ismi udah ngeh jawaban seperti apa yang gue maksud. Harusnya dia sudah tau.
Seperti yang sudah-sudah, gue nggak mau menghadirkan hawa canggung di udara. Gue nggak pengen semuanya berubah, dengan atau tanpa serangan dari negara api. Semua harus tetap sama, walaupun dengan segala permohonan maaf, gue harus mengakui perassan gue berubah seiring berjalannya waktu. Mungkin bukan dari setahun yag lalu ketika ada yang pertama kali bertanya tetang kami.
Di tengah perjalanan dan di tengah obrolan, kami mampir sholat dulu. Waktu Ismi sholat, nggak sengaja mata gue menangkap ada dia, jalan ke arah mushola juga. Refleks gue nyengir, dan sepertinya gue mendengar suara dalam hati gue berbisik.
"Ya, dengan senag hati gue mau berjalan bersama lo."
0 komentar