Memori
05.45Kita mungkin akan sangat mudah melupakan sebuah kejadian. Melupakan orang. Tapi, kita akan mudah untuk mengingat perasaan yang ditimbulkan.
Seperti, ketika gue menutup pintu geser rumah Jalan Jawa di suatu sore bulan September tahun 2006, lalu Abeng membukanya, dan pamit sambil melambaikan tangan canggung. Gue masih bisa ingat jelas detail sore itu, suasananya, anginnya, baju yang dia pakai, rambutnya, jaketnya, tasnya, kacamatnya, aroma Bvlgari nya, plus motor bebek bututnya yang riweuh.
Atau ketika jam 1 dini hari seorang lainnya menyelimuti gue dengan jaket, setengah memeluk, lalu tersenyum, "Kamu aja pake jaketnya, aku nggak apa-apa. Biar akunya nggak ngantuk."
Berlaku juga untuk sesuatu yang membuat sedih.
Seperti bulan April dua tahun lalu, di Ciumbuleuit, jam 10 malam, ketika gue bilang seorang teman ngajak ketemu kami, lalu dia bilang, "Kalo dia chat kamu, ya dia mau ketemu sama kamu, bukan sama aku." Ketus sekali.
Atau ketika, beberapa waktu yang lalu, seseorang yang lain berkata "Sorry I came too late." dan tetiba Just Missed the Train-nya Kelly Clarkson terbayang di kepala.
Gue sangat mudah mengingat sesuatu dengan membayangkan. Membayangkan di kepala, lalu merasakan dengan hati. Kadang hangat, kadang perih, kadang dingin. Agak bingung juga gue bisa sepeka ini, mengingat banyak sekali detail kecil sampe ke unit terkecil yang bisa dibayangkan. Kalau memorinya indah, itu menghangatkan sekali. Tapi kalau memorinya tidak baik, ya bekasnya seumur hidup.
Tapi ya, namanya juga hidup, banyak warnanya. memori-memori itu harusnya menjadi warna, ya kan.
Sebagai pengingat kalau hidup berputar. Kadang di bawah, kadang di bawah banget. Kalo lagi hoki, bisa di atas bentar.
Memori-memori itu, nantinya hanya akan jadi kenangan yang... rasanya tidak pernah hilang, walaupun mungkin, bayangan pembuatnya sudah samar.
It's like blessing in disguise.
0 komentar