If I Could Travel ArounD The World
09.56
I always wonder why birds choose to stay in the same place when they can fly anywhere on the earth, then I ask myself the same question. ― Harun Yahya
Quote tersebut ada di bio twitternya junior gue tersayang, @aviananda.
Begitu dibaca, muncul beberapa hal yang agak mengusik otak gue. Gue beneran bertanya pada diri gue sendiri, "Wi, kenapa lo nggak merantau kemana kek, cari pengalaman baru. Lo bisa ketemu orang baru, lo bisa dapet pengetahuan baru, lo bisa dapet kosa kata baru, lo bisa punya perspektif baru."
Lalu, gue teringat sama quote super panjang dari Henry Rollins.
I beg young people to travel. If you don’t have a passport, get one. Take a summer, get a backpack and go to Delhi, go to Saigon, go to Bangkok, go to Kenya. Have your mind blown. Eat interesting food. Dig some interesting people. Have an adventure. Be careful. Come back and you’re going to see your country differently, you’re going to see your president differently, no matter who it is. Music, culture, food, water. Your showers will become shorter. You’re going to get a sense of what globalization looks like. It’s not what Tom Friedman writes about; I’m sorry. You’re going to see that global climate change is very real. And that for some people, their day consists of walking 12 miles for four buckets of water. And so there are lessons that you can’t get out of a book that are waiting for you at the other end of that flight. A lot of people—Americans and Europeans—come back and go, Ohhhhh. And the light bulb goes on.
Bepergian ke sebuah daerah baru akan membuat pikiran lo luas. Lo akan memandang segala sesuatu dari sudut berbeda. Setuju.
Tapi apa segampang itu buat memulai perjalanan?
Katanya masalah anak muda adalah banyak waktu, banyak tenaga, nggak punya duit. Masalah orang umur pertengahan punya duit, punya tenaga, nggak punya waktu. Masalah orang tua punya duit, punya waktu, nggak punya tenaga. Dilematis emang.
Tapi masalah utamanya bukan itu. Masalah yang paling sulit adalah meninggalkan zona nyaman.
Terjadi pada gue ketika liburan kemarin, waktu gue, Yara, Faza, Dhika, dan Eris pergi ke Jogja. Sebagai anak gaul angkot yang kayaknya hapal rute angkot se-Bandung Raya akibat keseringan nyasar, gue sangat nyaman tinggal di Bandung. Akses gampang. Angkot nyaris 24 jam. Walaupun jalan banyak yang satu arah, gue udah mulai bisa mengasah insting menemukan jalan pulang. Practice makes perfect, kata quote di buku tulis sidu. Semakin sering naik angkot, semakin sering kesasar, gue semakin mengenal Bandung.
Ketika bepergian di Jogja, apa-apa naik bis. Ke sini naik bis. Ke situ naik bis. Oh ternyata bisnya cuma sampe perempatan. Ke tempat tujuannya gimana? Jalan kaki. Naik bis berapa tuh harganya? 2500 perak. Mati gue. Miskin mendadak. Coba angkot. Ah jaraknya menurut ukuran gue deket. Seribu aja. Pake strategi give and run. Kalo diteriakin Abang angkotnya pura-pura budek aja. Lah kalo di bis? kondekturnya udah nongkrong gaul di pinggir, minta bayaran. Mana bisa kabur.
Karena sulit akses, gue males bepergian di Jogja. Beda sama di Bandung. Gampangnya, gue membandingkan tempat baru gue dengan zona nyaman gue di Bandung. Pembanding itu kadang bikin lo males memulai perjalanan. Medannya sulit, cuacanya buruk, polisinya galak, premannya bawa semprotan cabe, apapun lah. Tapi seperti kata Henry Rollins, you’re going to see your country differently, atau dalam hal ini your hometown. Mendobrak zona nyaman akan membuat lo memiliki cara pandang baru, dan lo akan lebih bersyukur. Coba kalo seumur hidup gue nggak pernah bepergian ke Jogja. Selama-lamanya gue akan mengutuk angkot Antafunky yang kalo ngetem bisa dua juta tahun cahaya sendiri. Padahal gue seharusnya bersyukur angkot itu nongol 24 jam non-stop, sehingga bisa mengakomodasi gue yang harus pulang malam sendirian, nggak kayak di Jogja yang bis dari Kauman ke rumah cuma ada sampe maghrib.
Abang gue pernah bilang, keluarga gue adalah keluarga yang diberkati karena kedua orang tua gue merantau sejak lulus SMA. Bokap gue ikut kerja ke Kalimantan kemudian berujung jadi tentara. Di awal dinasnya dulu, beliau keliling-keliling ke berbagai macam daerah di sekitaran Sumatera, sampai akhirnya menetap di Palembang bertahun-tahun. Nyokap gue lepas SMA merantau ke Bandung, kemudian ke Jakarta, dan berujung jadi tentara juga. Sebagai tentara yang ditugaskan ke berbagai daerah di Indonesia, kedua orang tua gue cukup mengenal watak, sifat, dan kebudayaan dari suatu tempat. Mereka jadi mudah beradaptasi. Mereka menjadi pribadi yang fleksibel dan nggak kolot. Maka dari itu abang gue bilang kami, anak-anak mereka, beruntung.
Kami dibesarkan oleh orang tua yang kaya akan pengalaman dan tidak kaku. Gue senang sekali, dan berdoa semoga gue selalu diberi kesehatan, waktu, dan biaya untuk bepergian. Gue ingin menjadi orang tua seperti mereka.
Maka bepergianlah, jangan cuma stay di satu tempat. Selagi muda dan punya waktu serta tenaga. :)
0 komentar