Bertahun berkecimpung di dunia kebencanaan, bisa dibilang gue akrab dengan kerentanan. Semua aspek. Namun ketika berkaca pada diri sendiri, kadang, landasan yang nempel di kepala soal kerentanan jadi kabur.
Seumur hidup gue tidak pernah merasa diri gue rentan terhaap sesuatu. Secara fisik, sehat-sehat aja. Secara mental, sepertinya tidak masalah. Namun seiring umur, gue baru paham, kalau ada satu sisi diri gue yang paling rentan dan meningkatkan risiko kesedihan: kehilangan.
Mulai dari hal remeh, seperti kehilangan pensil kesayangan waktu sedang kerja praktik, sampai kehilangan besar seperti kematian anggota keluarga, semua sama-sama menimbulkan kesedihan, bisa berlarut-larut. Namun, buat gue, segala emosi yang muncul baiknya memang dirasakan dan tidak dilawan. Makanya ketika merasa sedih karena kehilangan, gue akan merayakan kehilangan, seperti gue merayakan sumber kesedihan lainnya.
Supaya apa? Supaya sedihnya cepat lewat.
Lo pernah, kan, girang ketika dapat kado, taruhlah kadonya berupa gadget baru. Apa yang lo lakukan? Lo dengan kebahagiaan hakiki akan memainkan gadget itu terus-terusan, sampai semakin lama, rasa bahagia lo terasa biasa saja, karena gadget tersebut sudah menjadi bagian dari hidup lo, bukan lagi sesuatu yang baru dan menimbulkan perasaan deg-degan. Lama-kelamaan memainkan gawai akan jadi hal biasa. Rutinitas. Sama halnya dengan rasa sedih akibat kehilangan yang gue rasakan. Gue akan selamanya rentan terhadap perasaan tersebut. Tiap kali mengalami kehilangan, gue akan merasa pilu mendalam.
Yang terbaik yang bisa gue lakukan hanyalah sebisa mungkin menghindari penyebab kerentanan. Atau kalau sudah kadung, ya, nggak masalah, dijalani dengan sabar. Punya kelemahan dan merasakan emosi adalah hal yang wajar. Buat gue itu tidak masalah, karena gue sadar sepenuhnya dengan emosi dan efek samping yang mungkin timbul.
Toh kita hanya manusia, dengan emosi yang kompleks.