Kepentok Restu

06.11

"Mbak, ada kenalan yang kerja ning NGO ndak?"

Semalam, ketika sedang nyortir data di laptop, tahu-tahu handphone gue menyala. Riza, salah seorang adik tingkat menanyakan hal tersebut di atas. Nggak ada angin, nggak ada hujan, bahkan jemuran pun udah diangkat, pertanyaan tersebut meluncur lewat jemarinya, nongol di chat.

"Ngopo? Awakmu mau banting setir ke NGO?"

Selama ini, Riza bekerja di konsultan. Sekarang, ia ingin geser haluan sedikit. Cuma, dari kerja di konsultan jadi kerja kantoran biasa, sepertinya terlalu jauh bedanya. Makanya ia tanya-tanya sedikit pada gue.

"Masku sih dulu, Za. Tapi udah 10 tahun yang lalu."

"Aku masih SD kui Mbak."

"Mbuhlah, karepmu." Kesel, gue ngomel lantaran ia seneng banget ngaku masih muda. Sepuluh tahun yang lalu, mah, dia udah SMA keleus.

"Nggak pernah coba NGO, Mbak?"

Seketika ingatan gue terlempar ke lima tahun yang lalu, saat ada sebuah telepon masuk, mengabarkan kalau gue diterima kerja di sebuah NGO. Kayak mimpi siang bolong jadi kenyataan, gue senang bukan kepalang. Tapi, tiba-tiba semuanya terasa mengerikan. Keluar dari Bandung, keluar dari zona nyaman, meninggalkan bapak sendirian (berdua, sama kucing, sih), dan memulai hidup baru di Sukabumi-Jakarta, sendirian.

Gue selalu pengen kerja yang jauh, tapi pengennya yang temporal. Bentar doang. Seminggu, dua minggu, balik lagi ke Bandung. Sebulan, dua bulan, masih oke lah. Tapi kalo selamanya? Ya gue seneng aja sih, tapi apa gue siap?

Waktu itu, gue tolak tawarannya.

"Padahal ya, Za, kalo tak terima, aku bisa ketemu co-founder-nya yang artis Hollywood!"

"Ah, kalo artis Hollywood-nya bukan Tante-Tante, nggak mau aku Mbak." Ia komen pedes. 

Semenjak menolak tawaran di NGO tersebut, dan menolak tawaran jadi reporter di sebuah media nasional, gue kemudian memilih untuk S2 di ITB. Padahal, waktu itu gue udah ancang-ancang mau ke Wageningen. Lagi-lagi, tidak siap adalah sebuah alasan yang membuat gue mundur dari pilihan tersebut.

Kalau dicerna ulang, sebetulnya gue dalam kondisi sangat siap, pada saat itu. Mau kerja di NGO, mau kerja jadi reporter, ataupun kuliah S2 ke luar negeri, gue dalam kondisi sangat siap. Lahir batin. Sayangnya, keluarga besar gue belum mau memberi restu. Mulai dari alasan "bisa cari yang deket aja" sampai "kalau jauh mendingan pas udah nikah" menjadi kalimat yang sering sekali gue dengar. Dalam hati gue kesel, tapi ya, bisa apa lah gue. Makin lama dipikir, benar juga. Mungkin gue merasa siap. Gue mandiri. Bisa segala hal sendiri. Mudah dapet teman. Gampang beradaptasi.

Tapi, mengingat di Bandung, tinggal di rumah dengan orang tua saja pergaulan gue masih nggak terkontrol, siapa yang jamin kalau gue dilepas sendiri hidup gue bakal bener? Gue pasti bisa mengatur kehidupan gue supaya nggak ikut pergaulan yang aneh-aneh, tapi yang jadi masalah, apakah gue punya kesadaran untuk mengaturnya, tanpa harus diawasi orang lain? Kalau nggak, tinggal sendiri memang akan jadi sangat berbahaya, dan itu lah yang dikhawatirkan keluarga gue (yang tahu benar gue anaknya bandel parah)

Setelahnya gue sadar. Siap bukan cuma soal mampu, tapi juga soal mau.


You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images