Kompromi

07.37

Waktu lagi iseng-iseng buka Instagram akibat bosan WFH selama sebulan terakhir, jari gue berhenti di postingan seorang teman gue dan pacarnya yang lagi masak bareng.

Izinkan gue untuk bercerita tentang dua insan yang dimabuk asmara tersebut. Panggil saja si perempuan sebagai Maudy, dan si lelaki sebagai Oki. Keduanya sudah berpacaran hampir dua tahun. Usia keduanya terpaut lumayan jauh, sekitar delapan tahun. Mbak Maudy adalah rekan gue semasa kuliah, dan Mas Oki adalah asisten dari salah satu dosen kami. Mereka dipertemukan dalam sebuah event yang diselenggarakan dosen kami, ketika keduanya sama-sama jadi panitia. 

Awalnya, Mbak Maudy beneran sebel sama Mas Oki. Katanya Oki bercanda terus dan sangat tertutup. Ngebingungin, nggak jelas maunya apa. Kami-kami yang dicurhatin saling menatap, bingung. Lha wong udah jelas maunya Mas Oki ini macarin Mbak Maudy. Masa' gitu aja nggak paham? Itu kan, basic!

Cuma, setelah kami pikir-pikir, mungkin Mbak Maudy nggak paham dikode. Atau bahasanya beda aja, makanya kodenya Mas Oki nggak masuk di akal Mbak Maudy. Lagian, kalau ada orang lagi pedekate, seisi dunia pasti bakalan sadar, kecuali, tentu saja, si target yang lagi didekati. Entah teori dari mana, tapi menurut gue, itu cukup akurat. 

"Satu hal yang paling aku suka dari dia, Dewi," Suatu hari Mbak Maudy bilang pada gue, "Dia itu baik banget. Kayak... nggak pernah ada orang yang setulus itu baik dan sayang sama aku." Pada akhirnya, setelah perjuangan panjang, akhirnya mereka pacaran juga. 

Keduanya punya hobi yang sama, yaitu travelling. Malahan, keduanya sama-sama pecinta alam. Nyambung, kan? Beda banget sama mantannya Mbak Maudy yang hobinya nongkrong di mall. Menurut Mbaknya, mall itu isinya kan cuma gitu-gitu aja. Begitu pula sebaliknya, menurut si mantan, gunung dan pantai bentuknya juga gitu-gitu aja. Nggak akan tiba-tiba gunung di timur bentuknya trapesium sementara gunung di selatan bentuknya segilima.

Yang membuat hubungan mereka menjadi sulit, adalah, kepribadian yang bertolak belakang. Mbak Maudy sangat terbuka, senang bergaul, dan mudah sekali akrab sama orang. Ibarat kata dia dilepas sendiri di satu tempat yang belum pernah dia kunjungi, pulang-pulang dia udah bisa temenan sama orang sekota. Beda banget sama Mas Oki yang introvert. Jangankan ngobrol basa-basi. Ada perkara penting yang harusnya dibicarakan pun, kadang nggak bunyi. Hal tersebut sempat membuat mereka bertengkar, sampe akhirnya gue diminta turun tangan jadi wasit nengahin pertikaian berdarah tersebut. Padahal masalahnya sederhana, yang, kalo diobrolin baik-baik, paling mentok ngobrol setengah jam juga udah beres urusannya. Tapi karena Mbak Maudy terus mendesak dan Mas Oki nggak pernah bisa memberikan jawaban jelas, jadilah semua berbuntut beranak pinak nggak karuan. 

Pas gue tanya, Mas Oki cuma bilang, "Gua udah jelasin, dia masih nanya lagi. Ya males. Ya udah gue diemin aja biar cepet." yang ternyata keputusannya malah bikin amarah Mbak Maudy meledak. Sementara dari sisi Mbak Maudy, ketidakjelasan jawaban Mas Oki membuat Mbak Maudy ngomel merepet nggak putus. Jadi ikutan pusing gue. Mereka yang pacaran, gue yang mumet. Astaga.

Tapi itu dulu, di bulan-bulan awal mereka pacaran. Sekarang, setelah semakin lama mengenal, mereka makin tahu sifat masing-masing. Makin bisa paham kapan harus diskusi, kapan harus menentang demi kebaikan bersama. Tidak perlu persis sama untuk bisa jalan beriringan. Hanya perlu kompromi saja untuk menengahi. Gue beruntung bisa menyaksikan mereka bertumbuh, dari yang nggak kenal, sampai jadi sejoli manis yang mulai menampakkan niatan untuk lebih serius.

Manis sekali.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images